Scroll untuk baca artikel
Lintas Daerah

1.300 Tenaga Kerja Jabar “Hijrah” ke Jepang: Antara Magang, Bahasa, dan Janji Peningkatan SDM

×

1.300 Tenaga Kerja Jabar “Hijrah” ke Jepang: Antara Magang, Bahasa, dan Janji Peningkatan SDM

Sebarkan artikel ini
Sebanyak 1.300 tenaga kerja terlatih asal Jabar berangkat untuk magang di Jepang. Para tenaga kerja ini merupakan peserta program Magang Jepang LPK SO, Sabtu 20 Sept 2025

BANDUNG — Jawa Barat kembali menjadi eksportir manusia terlatih. Bukan TKI abal-abal, melainkan 1.300 tenaga kerja “siap saji” yang dikemas rapi dalam program Magang Jepang LPK SO. Sabtu (20/9/2025), rombongan besar ini dilepas langsung oleh Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, ditemani Sekda Jabar Herman Suryatman.

“Siang ini kami melepas 1.300 peserta pemagangan ke Jepang. Sinergi luar biasa antara Kemnaker, Pemda Jabar, 27 kabupaten/kota, LPKSO, dan AP2LN,” kata Herman penuh semangat, seakan Jawa Barat baru saja memenangkan Piala Dunia.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Namun, di balik seremoni pelepasan ini, ada pertanyaan klasik: apakah magang ke luar negeri adalah solusi nyata peningkatan kualitas SDM, atau sekadar strategi ekspor tenaga kerja murah dengan bumbu label ‘internasional’?

BACA JUGA :  Regulasi Pelanggaran Tertib Kesehatan di Jabar, Besok Diumumkan

Herman optimistis. Ia menargetkan 30 persen dari total peserta magang nasional harus orang Sunda. “Hari ini kita kirimkan 1.300 peserta, sisanya menyusul. Persiapkan diri dengan baik agar kesempatan ini bisa dimanfaatkan,” ujarnya.
Bahasa tubuhnya menunjukkan kebanggaan, seakan setiap orang yang berangkat adalah aset daerah yang akan balik dengan “upgrade software”.

Menteri Yassierli tak kalah serius. “Kalau ingin magang ke luar negeri, syarat pertamanya bahasa. Jadi mulai dari sekarang siapkan bahasa,” katanya. Pesan sederhana, tapi cukup menampar: bahasa Jepang dulu, kerja keras kemudian. Karena tanpa “nihongo”, jangankan magang, pesan sushi saja bisa gagal paham.

Menurutnya, peluang magang ke Jepang tiap tahun mencapai 20–30 ribu orang. Angka fantastis yang tentu membuat warga desa sampai kota berebut kursi, walau di balik layar, ada juga cerita tentang ketatnya aturan, beratnya beban kerja, dan jarak ribuan kilometer dari kampung halaman.

BACA JUGA :  Dikepung Ribuan Massa, Dedengkot Ponpes Al-Zaytun Panji Gumilang Tak Bergeming

Program ini, secara teori, memang indah, meningkatkan keterampilan, menambah pengalaman internasional, sekaligus mengasah daya saing generasi muda. Namun, dalam praktiknya, banyak peserta pulang dengan kisah geti,: kangen rumah, gaji pas-pasan, hingga tekanan kerja yang tinggi. ***