BLITAR – Waktu seakan berhenti di pusara Bung Karno, Minggu (14/9/2025). Di antara taburan bunga dan doa yang khusyuk, seorang perempuan berkebaya sederhana berwarna pink tampak duduk lama di depan makam Sang Proklamator.
Ia adalah Kartika Sari Dewi Soekarno, putri Bung Karno dari pernikahannya dengan Ratna Sari Dewi.
Tangannya gemetar ketika menyentuh batu nisan yang sudah 55 tahun tak pernah ia datangi. Di sampingnya berdiri seorang pria muda yang tampak setia menemani anaknya, Frederik Kiran Soekarno Seegers.
Keduanya datang jauh dari London, terbang lintas benua hanya untuk satu tujuan: bertemu kembali, meski dalam sunyi, dengan sosok ayah dan kakek yang menjadi legenda bangsa.
Pertemuan Setelah Setengah Abad
Kartika lahir pada 1967. Saat ayahnya wafat pada 21 Juni 1970, usianya baru tiga tahun. Ia masih sempat melihat lautan massa mengiringi Bung Karno ke pemakaman di Blitar.
Namun setelah itu, jarak, waktu, dan kehidupan yang berpindah ke Eropa membuatnya tak pernah lagi menziarahi makam sang ayah.
Barulah di usia 58 tahun, Kartika akhirnya kembali. Momen ini menjadi ziarah pertamanya setelah setengah abad lebih.
“Saya senang sekali bisa datang ke Blitar bersama anak saya. Saya selalu merasa senang bertemu dengan Bapak saya. Saya datang langsung dari London khusus untuk ke sini,” ujarnya dengan mata berkaca.
Doa, Kontemplasi, dan Rasa Bersalah
Tak banyak kata yang diucapkan Kartika di pusara itu. Hanya doa lirih yang terucap, memohon ampun, meminta dukungan bagi dirinya dan anaknya, serta meluapkan rasa emosional yang ia pendam sejak kecil.
“Saya berdoa memohon ampunan dari Bapak, dukungan untuk anak saya dan saya. Jika saya punya kesalahan di masa lalu, saya juga meminta dukungan untuk kehidupan saya,” ucapnya pelan.
Selama 15 menit ia terdiam, seolah bercakap dengan sang ayah dalam bahasa yang hanya bisa dipahami lewat air mata dan kesunyian.
Bung Karno di Mata Sang Putri
Bagi Kartika, Bung Karno bukan hanya ayah, tetapi juga pejuang yang warisannya menginspirasi dunia.
“Ayah saya adalah salah satu pejuang penting dalam kemerdekaan Indonesia, sama halnya dengan Bung Hatta dan Sutan Syahrir. Indonesia adalah negara pertama yang memproklamasikan kemerdekaan setelah Perang Dunia II, dan itu menginspirasi banyak negara di Asia untuk merdeka. Saya sangat bangga dengan warisan beliau,” tegasnya.
Meski bangga, ia juga tak menutup mata dengan kondisi Indonesia hari ini. Ia mengaku sedih dengan keadaan bangsa, namun tetap optimistis dengan langkah Indonesia di kancah internasional.
“Saya berharap akan ada lebih banyak inklusi sosial untuk pendidikan dan kesehatan, bagi seluruh rakyat Indonesia. Saya berdoa untuk perdamaian, dan semoga kita punya politisi yang benar-benar mengabdi untuk rakyat,” tambahnya.
Disambut Hangat Warga Blitar
Kehadiran Kartika dan putranya disambut hangat warga Blitar. Mereka datang tanpa pengawalan ketat, hanya ditemani Wali Kota Blitar Syauqul Muhibbin dan Kepala UPT Perpusnas Bung Karno Nurny Syam.
Usai berziarah, Kartika sempat menyapa masyarakat sekitar sebelum melanjutkan kunjungan ke Perpustakaan Nasional Bung Karno.
Bagi warga, kehadiran Kartika membawa nuansa haru. Seakan sejarah kembali berbicara putri Bung Karno akhirnya pulang, meski hanya untuk sekadar menunduk di makam ayahnya.
Sebuah Kepulangan
Ziarah Kartika Sari Dewi Soekarno bukan hanya soal ritual doa. Lebih dari itu, ia adalah kepulangan emosional seorang anak yang akhirnya menutup jarak panjang dengan ayahnya.
Sejarah mencatat Bung Karno sebagai bapak bangsa. Tetapi di Blitar, pada Minggu sore itu, ia kembali dipeluk sebagai seorang ayah meski hanya lewat taburan bunga dan doa yang lirih.***