JAKARTA – Pakar hukum tata negara Refly Harun mengomentari terkait penerapan tersangka terhadap enam arwah laskar FPI yang tewas Dalam kasus penembakan pada Senin 7 Desember 2020.
“Saya bingung apa yang mau dikomentari, seperti ini ya agak membingungkan juga. Saya tadi sempat telepon seorang ahli hukum pidana satu almamater. Saya tanya ya kira-kira pernah tidak ada ga orang yang telah meninggal seperti jenazah atau apapun dijadikan tersangka, ya dia bilang sependek pengetahuan Saya, tidak pernah,”ujar Rafly Harun melalui channel youtube miliknya, Kamis dini hari, (4/3/2021).
Dikatakannya biasanya jika seseorang dijadikan tersangka dan dalam kondisi atau kasus sebagai tersangka dia meninggal dunia sehingga kasusnya dihentikan. Hal itu terjadi pada Ustaz Maaher At-Thuwailibi karena yang bersangkutan meninggal dunia maka penyidikan atau Rencana penuntutan terhadap Ustaz tersebut dihentikan karena sudah meninggal dunia.
“Jadi sobat sekalian kasus pidana beda dengan kasus perdata kalau kasus perdata jelas bahwa kalau misalnya salah satu pihak meninggal dunia ya dia bisa dialihkan ke pihak lain yang berhubungan tanggung renteng,”tukasnya.
Ia mencontohkan misalnya di antara anggota keluarga jadi tidak bisa case law. Karena kasus pidana itu individual atau responsibility artinya tanggung jawab individual. Artinya jika individunya meninggal dunia ya case law atau pengusutan atau proses dihentikan.
Refly Harun lalu mengungkit hasil rekomendasi Komnas HAM yang menyoal kepemilikan senpi. Selain itu juga soal enam Laskar FPI yang disebut tidak menunggu sehingga terjadi insiden baku tembak.
“(Masalah itu) Sering diunderline. Mungkin saja (enam Laskar FPI) salah. Tapi kok rasanya cemen sekali ya. Petugas yang harusnya melindungi rakyat karena ditunggu kemudian menghabisi 6 laskar FPI,” tegasnya.
Menurut Refly Harun, pihak kepolisian saat itu tidak melakukan penembakan di tempat-tempat vital. Seharusnya hanya dilakukan tembakan untuk melumpuhkan saja.
“Apalagi konon tembakan FPI cuma 2, sementara kepada 6 laskar FPI ada di 18 tempat-tempat mematikan. Sukar rasanya diterima apabila itu (polisi) membela diri,” lanjut Refly.
Lebih lanjut, Refly Harun juga mengungkit penembakan terhadap empat Laskar FPI yang masih hidup. Kata dia, itu tergolong unlawful killing yaitu pembunuhan tidak menurut prosedur hukum.
“Tapi alih-alih mengusut pelaku, rupanya Bareskrim malah menjadikan 6 laskar FPI tersangka kasus penyerangan terhadap polisi. Perkelahian yang sangat tidak seimbang. Menyerang, tidak ada 1 pihak polisi pun terluka, 6 laskar FPI meninggal dunia,” tambah Refly Tegas.
Meski begitu, dikabarkan sebelumnya bahwa Bareskim sudah membuat laporan polisi (LP) untuk kasus dugaan unlawful killing yang dilakukan polisi terhadap empat Laskar FPI dan penyelidikan sudah berlangsung.
Refly Harun kemudian mengungkit pihak keluarga yang berani melakukan sumpah muhabalah. Kata dia, hal itu bukan sesuatu yang main-main. Adapun sumpah itu diambil karena mereka merasa tidak mungkin anggota keluarga memiliki senpi.
Menyoroti perkembangan kasus Laskar FPI dengan polisi, Ahli Hukum Tata Negara itu mengatakan rasanya masih banyak yang kurang masuk akal. Dia mengatakan, kuncinya ada di pemerintahan Jokowi.
“Kalau mau terbuka dan jujur rasanya banyak yang kurang masuk akal. Barangkali kita bersabar sampai suatu saat nanti ada titik cerah. Kuncinya di pemerintahan Jokowi, apakah presiden punya keinginan mengungkap kasus ini seterang-terangnya atau membiarkan aparat hukum melakukan proses menurut versinya,” tukasnya.
“Sebagai warga negara kita hanya berdoa bahwa kebenaran akan terungkap. Bukan berarti pihak kepolisian salah, tapi barangkali ada cerita atau konstruksi yang bisa kita terima dalam nalar yang menurut saya masih sukar,” tandas Refly.
Enam Laskar FPI yang Tewas Ditetapkan Jadi Tersangka
Enam laskar Front Pembela Islam yang meninggal dunia ketika bentrok dengan anggota Polda Metro Jaya di jalan tol Jakarta – Cikampek pada Desember 2020, ditetapkan menjadi tersangka.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi mengatakan dalam waktu dekat, berkas perkara keenam tersangka dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk selanjutnya dibuat keputusan.
“(Penghentian perkara) itu kan bisa dipenyidikan bisa dipenuntutan,” katanya. (R/Suara)