JAKARTA – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, tercatat dari total 79,55 juta anak atau 30 persen dari total penduduk, 11,21 persen setara dengan 8,97 juta anak telah melakukan perkawinan.
Angka perkawinan anak (di bawah 18 tahun) Indonesia menjadi perhatian serius pemerintah. Tak kalah mengkhawatirkan, ternyata 4,7 juta anak dinyatakan hamil di usia 15 tahun.
“Angka-angka ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah kita memang sangat banyak. Kira harus ‘keroyok’ masalah ini bersama-sama. Pemerintah telah menjadikan Pencegahan Perkawinan Anak sebagai program strategis nasional (stranas) yang percepatannya tidak bisa ditunda,” terang Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Leny Nurhayanti Rosalin, Senin (4/2/2020) di Jakarta.
Perkawinan anak di bawah usia disebut memiliki sejumlah dampak negatif yang sangat serius, baik dari sisi pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun sosisal.
“Hanya nol koma sekian persen saja anak yang telah menikah melanjutkan sekolah. Yang pada gilirannya target wajib belajar 12 tahun tidak bisa tercapai,” ungkap Leny.
Kemudian dari sisi kesehatan, anak yang menikah di bawah usia lebih beresiko meninggal, beresiko menderita kanker serviks, stunting serta gangguan kesehatan jiwa. Begitu pula dari sisi ekonomi, karena anak tidak punya pendidikan yang tinggi akhirnya dia hanya bisa bekerja serabutan dengan upah rendah, yang pada akhirnya melahirkan kemiskinan. Sementara dampak sosial di antaranya adalah resiko perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, serta penelantaran anak.
“Jadi upaya kita yang lintas sektoral ingin wajib belajar tercapai, angka kematian ibu dan bayi menurun, stunting turun, berat badan turun, gizi buruk turun, termasuk kita ingin turunkan kemiskinan, maka kita harus bersama-sama mencegah perkawinan anak. Karena ini merupakan salah satu sumber masalah kita,” papar Leny.
Leny juga menjelaskan bagaimana tingkat perkawinan anak mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di suatu daerah. Ia mencontohkan Jakarta sebagai Provinsi dengan angka perkawinan anak terendah dengan Sulawesi Barat (Sulbar) yang angka perkawinan anaknya tertinggi.
“Ada 20 Provinsi yang tingkat perkawinan anaknya di atas rata-rata nasional (11,21 persen). Tertinggi itu di Sulawesi Barat. Terendah DKI Jakarta. Kalau kita lihat DKI yang angka perkawinan anaknya terendah memiliki IPM tertinggi. Jadi korelasinya negatif. Sulbar yang tingkat perkawinan anaknya tertinggi IPM nya terendah keempat di Indonesia,” paparnya.
“Ini betul-betul harus kita atasi bersama. Pencegahan perkawinan anak tidak bisa di atasi hanya oleh satu lembaga atau pemerintah saja, tapi harus kita, kita semua yang dewasa yang jumlahnya 70 persen. Kita semua yang secara aktif memberikan pemahaman kepada anak-anak maupun orang tua,” sambung Leny berharap.
Sementara itu, dalam rangka mendukung stranas pencegahan perkawinan anak, yang dinilai juga sebagai bagian dari kekerasan terhadap anak, Kementerian Dalam Negeri disebut telah mengeluarkan surat edaran pada 20 Januari 2020 lalu yang berisi perintah kepada seluruh Kepala Daerah tingkat I maupun tingkat II untuk melaksanakan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak itu.
“Di dalamnya juga diperintahkan agar perencanaan dan anggaran yang sudah jalan di 2020 ini apabila belum dicantumkan dalam dokumen perencanaan dan anggaran maka harus segera melakukan perubahan sesuai mekanisme dan peraturan yang ada. Ini komitmen Pak Menteri,” tukas Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah IV Kemendagri, Sri Purwaningsih di tempat yang sama.
Sri juga menyampaikan bahwa di seluruh wilayah Indonesia baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota telah terbentuk organisasi perangkat daerah (OPD) yang membidangi perlindungan perempuan dan anak.
“Tinggal kita lihat bagaimana pergerakan OPD tersebut. Di dukung juga dengan kebijakan kepala daerah yang saya yakin akan mengurangi perkawinan anak di bawah usia ini,” tukas Sri. (Sal)