Oleh : Yongki Davidson Sekum HMI MPO Cab Bandar Lampung 2021
Provinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam pertanian yang cukup besar dan sangat melimpah di antaranya seperti ubi kayu, tebu jagung, padi ,Kopi, lada, kakao ,kelapa sawit ,karet ,sapi potong, ternak kambing ,dan lainnya.
Seperti belakangan ini kita semua melihat membaca serta mendengarkan keluhan masyarakat petani yaitu petani singkong (ubi kayu) secara data statistik dari BPS Lampung merupakan peringkat 1 nasional dalam memproduksi ubi kayu mengalahkan provinsi-provinsi lain yang ada di Indonesia.
Menariknya, menurut data BPS pula pada Oktober 2020 sampai saat ini Maret 2021 beberapa komoditas mengalami penurunan harga yakni komoditas subsektor seperti tanaman pangan peternakan perikanan gabah ketela pohon dan beberapa jenis ternak ruminansia,unggas dan beberapa jenis ikan budidaya.
Saya menyoroti isu belakangan ini yang beredar di Provinsi Lampung diantaranya komoditas yang mengalami anjlok yang sangat parah yaitu dialah komoditas potensial di Provinsi Lampung yang selalu di genjot oleh pemerintah provinsi Lampung salah satunya ialah singkong yang harganya saat ini sedang terjun bebas.
Pada tahun 2017 petani singkong kita memproduksi 5,45,312 ton, sedangkan pada tahun 2018 memproduksi 5,055, 614 ton dan pada tahun 2019 petani kita memproduksi singkong sebanyak 4,929, 044 ton ( BPS) .
Hasil ini yang saya dapatkan dari BPS bahwasannya provinsi Lampung merupakan provinsi yang paling tinggi memproduksi ubi kayu atau singkong, lantas bagaimanakah dengan para petani singkong Apakah hidup nya sudah sejahtera atau kau semakin sengsara.
Umumnya permasalahan petani itu berada pada permasalahan dari hulu sampai ke hilir. Di hulu dipengaruhi oleh faktor yang pertama yaitu tanah seperti ketersediaan tanah, tingkat kesuburan tanah ,rendahnya mutu bibit atau bahan tanam ,dan terbatasnya modal dari petani tersebut.
Setiap tahun dari tahun 2014 sampai tahun 2019 petani ubi kayu provinsi Lampung kehilangan 105,083 hektar lahan untuk menanam ubi kayu. Dimana pada tahun 2014 kita memiliki luas panen 304,468 hektar dan 2019 ini kita hanya memiliki luas lahan untuk menanam ubi kayu yaitu 199,385 hektar.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan petani singkong kehilangan lahan garapannya mulai dari konflik dengan pemerintah/Swasta, beralih ke komoditi lain karena harga singkong yang cenderung turun atau tidak stabil.
Seperti kejadian di awal tahun 2021 ini harga singkong itu berkisar hanya Rp 750.00/kg. Dari harga tersebut petani hanya memperoleh sekitar Rp 350/Kg – Rp 450/Kg.
Sebab pabrik-pabrik dan lapak pembeli singkong memotong kadar air sebesar 20% sampai 30%. Harga Rp 750.00/Kg tersebut kemudian dikurangi lagi dengan biaya ongkos angkut ongkos cabut yang jumlahnya berkisar antara Rp 200 – Rp 250 per/kg.
Tentunya dengan harga yang sangat kecil tersebut petani singkong atau ubi kayu di provinsi Lampung tentunya sangat menjerit dengan keadaan yang seperti ini di mana biaya pokok produksi atau biaya yang kita kenal dengan biaya untuk penanaman singkong itu lebih besar daripada harga jual.
Seperti pepatah mengatakan lebih besar pasak daripada tiang petani di Provinsi Lampung lebih banyak biaya untuk penanaman daripada hasil yang mereka dapatkan.
Tentunya ini adalah kondisi yang harus segera dibenahi oleh pemerintah provinsi Lampung karena jika dibiarkan terus-menerus maka sama saja pemerintah membunuh para petani untuk hidup .
Banyak upaya yang bisa dilakukan seperti Pembuatan tim khusus di mana dalam hal ini pemerintah eksekutif dan legislatif bekerja sama dengan pihak-pihak yang berwenang.
Yang kedua ialah pemerintah provinsi Lampung melakukan diskusi dengan para pemilik perusahaan untuk menetapkan harga yang standar atau kita kenal dengan harga minimal dan pemerintah provinsi Lampung pula harus mendorong hubungan simbiosis mutualisme di mana petani dan perusahaan itu memiliki keuntungan masing-masing.
Dan yang ketiga ialah perihal kebijakan impor ubi kayu pemerintah Provinsi Lampung harus mendorong pemerintah Republik Indonesian dalam hal ini berdiskusi dengan kementerian perdagangan untuk membatasi keran impor Indonesia terhadap ubi kayu.