JAKARTA – Peneliti Aksara Ulu, Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) Gaya Mentari menjelaskan aksara ulu dikenal mulai dari Sumatera Selatan hingga Bengkulu dengan nama yang berbeda. Namun sayang pengetahuan lokal yang umumnya diwariskan dalam bentuk naskah kuno hanya menghuni museum tanpa memberikan ilmu lebih pada masyarakat. Salah satunya naskah surat ulu Serawai yang berisi tentang penyakit, gejala, obat dan cara pengobatannya
“Penulisan aksara ulu banyak ditemukan di media bambu di wilayah Bengkulu. Walaupun penulisannya juga ditemukan di batu, kertas Eropa dan rotan. Sayangnya, aksara ulu ini sudah banyak tak dikenali oleh masyarakat saat ini. Padahal pengetahuan yang ada dalam naskah surat ulu ini bisa berpotensi memberikan pengetahuan herbal bagi masyarakat Indonesia saat ini,” kata Gaya dalam diskusi online aksara, Minggu (15/8/2021).
Contohnya, naskah surat ulu terkait identifikasi penyakit pada masyarakat etnis Serawai Bengkulu Selatan, yang diserahkan masyarakat Desa Talo pada Museum Negeri Bengkulu.
“Naskah surat ulu ini menjadi bukti bahwa masyarakat dari daerah setempat mengembangkan kebudayaan menulis sebagai slaah satu untuk melestarikan budaya dan pengetahuan manusia,” tuturnya.
Ia menjelaskan sejauh ini ada 213 surat ulu yang tersebar di Bengkulu, baik yang dimiliki oleh masyarakat maupun sudah masuk menjadi dokumen museum.
“Serawai kuno ini diperkirakan ada pada abad 18 hingga abad 19 yang tersebar di Seluma, Sukaraja, Kelutum, Manna dan Seginim dengan mayoritas mata pencahariannya berbasis pada pengelolaan kebun, pertanian dan sawah,” tuturnya lagi.
Gaya menyebutkan dari keseluruhan surat ulu yang sudah dipelajari, ditemukan pembahasan terkait tambo (riwayat kekeluargaan), hukum adat, pengobatan, penyakit, ritus tradisional, prosa dan puisi rakyat, tuah ayam, naskah keagamaan dan jampi.
“Dari empat naskah yang saya pelajari, menggunakan bambu Betung yang dianggap kuat dan menjauhkan dari rayap. Tiga diantaranya ditemukan di Desa Talo dengan ukuran 50 kali 12 cm. Sementara satu naskah ditemukan di Desa Rawa berukuran 59,5 kali 22 cm,” urainya.
Dalam naskah diuraikan tentang beberapa penyakit, ciri penyakit, obatnya dan cara mengobatinya.
“Contohnya, disebutkan adanya penyakit kuning, yang dalam naskah disebut sebagai sakit kuning. Diikuti dengan cirinya, ‘taluih kuning’ atau dalam bahasa Indonesia kuning berketerusan. Lalu disebutkan obatnya adalah daun kenidai yang berada di tepi sungai dan cara pengobatannya dengan mengasapi orang yang terkena penyakit kuning di pagi hari dan setiap pagi diberikan air tajin (red : air rebusan beras) untuk memperkuat tubuh,” urainya lagi.
Tapi Gaya menyebutkan saat ini sangat sedikit atau hampir tidak ada masyarakat Serawai yang bisa memahami aksara ulu yang ada di dalam naskah ini.
“Contohnya untuk identifikasi kata ntaluy. Saat dikonfirmasikan pada masyarakat asli Serawai, ada yang menyatakan ntaluy itu berasal dari kata ntayagh yang diasosiasikan sebagai sakit jiwa. Tapi ada juga yang menyatakan entalui itu artinya terkulai,” ujarnya.
Ia juga menyatakan dari beberapa istilah dalam naskah masih diteliti oleh para ahli biologi untuk mencari nama latin dan nama tumbuhannya yang dikenal oleh masyarakat saat ini.
“Dari penguraiannya, terlihat paparan detail. Misalnya ditemukan berbagai istilah yang merujuk pada kondisi bengkak dengan derajat bengkak yang berbeda. Variasi tanaman herbal juga sangat banyak, yang sebenarnya bisa menjadi referensi dalam mengembangkan obat herbal lokal Indonesia,” ujarnya lagi.
Gaya mengharapkan adanya upaya dari masyarakat asli maupun kelompok peneliti yang bisa mendalami naskah surat ulu ini.
“Karena ini adalah sumber yang kaya bagi Indonesia. Terlihat bahwa dari dahulu kala, pengobatan Indonesia ini sebenarnya sudah beragam dan pencatatannya pun sudah mulai detail, bahkan dibedakan antara orang dewasa dan anak-anak. Sehingga bisa diwariskan pada generasi selanjutnya,” pungkasnya.