Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Kepemimpinan tidak hanya bertumpu pada kapasitas personal. Melainkan berkelindan dengan akar penyangga kepemimpinan itu sendiri.
Apalagi dalam iklim demokrasi. Tidak ada figur pengambil keputusan tunggal layaknya era monarkhi. Atau era fasis seperti Hitlernya Nazi.
Demokrasi dicirikan adanya keterpencaran pengambilan keputusan. Eksekutif – legislatif – yudikatif memainkan peran masing-masing.
Ada pressure group, berupa kehadiran civil society. Begitu pula dengan dan pers. Semua mencoraki eksistensi kepemimpinan sebuah rezim.
Bagaimana gambaran corak idiologis penyangga kepemimpinan capres-cawapres 2024?.
Mari kita “ektraksi” satu persatu. Kita bahas sesuai nomer urut Capres-Cawapres.
Pasangan Anis Baswedan – Muhaimin Iskandar didukung oleh Partai Nasdem, PKS, PKB. Beserta elemen-elemen pressure group.
Nasdem (Nasional Demokrat) merupakan parpol bercorak pragmatis-pluralis. Fokus pada kerja-kerja politik menempatkan diri pada sisiran kekuasaan. Visi idiologisnya tidak mengemuka. Sulit untuk mengkategorikannya dalam kategori nasionalis atau religius.
“Restorasi Indonesia” sebagai tagline tidak menampakkan aura idiologis. Kecuali aspek teknis program dengan klaim mewujudkan kemajuan untuk Indonesia.
PKS (Partai Keadilan Sejahtera), bisa dikategorikan sebagai bercorak religius-transnasional. Taglinenya “berdakwah melalui politik”. Partai dakwah Itu menempatkannya sebagai bercorak religius.
Sedangkan corak transnasionalnya dilatari akar tumbunya dari gerakan Ikhwanul Muslimin. Solidaritas politiknya lebih concern pada isu-isu interasional dari gerakan sayap-sayap ikhwanul muslimin di dunia.
Tidak sedikit pertanyaan komitmen nasionalisme ditujukan pada partai ini. Antara kesungguhannya atas nasionalisme Indonesia. Atau “poligami idiologis”. Transnasionalisme dan nasionalisme sekaligus.
Penerimaan dan keikutsertaan terhadap sistem demokrasi di Indonesia tiada lain sebagai langkah taktis perlindungan aktivitas dakwahnya yang bersifat transnasional.
PKB, Partai Kebangkitan Bangsa. Bercorak religius-nasionalis. Corak religiusnya diwarnai sebagai konsekuensi salah satu alat pejuangan politik warga NU. Corak religius PKB diwarisi dari spirit perjuangan sosial kegamaan warga NU.
Begitu pula dengan corak nasionalisnya, diwarisi dari ormas NU. Melalui dialektika panjang, termasuk dalam perspektif fiqih peradaban, NU menganggap Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final format penyelenggaraan bernegara. Sebagai zona (NKRI) sekaligus blue print (Pancasila) pembangunan peradaban bangsa ber Tuhan.
Berdasar pandangan keagamaannya, NU bisa dikatakan sebagai ormas keagamaan penjaga terdepan dari nasionalisme Indonesia. PKB bukan satu-satunya wadah perjuangan politik bagi warga NU.
Maka spirit nasionalisme NU itu tersemai melalui kader-kadernya di banyak parpol. Otomatis tersemai pula melalui banyak capres-cawapres.
Selain Nasdem-PKS-PKB, capres urut 1 juga didukung oleh pressure group keormasan keagamaan. Walau kini pergerakannya lebih mirip sebagai OTB (organisasi tanpa bentuk). Ialah eks FPI, Wahabi, dan HTI.
Dukungan itu terdeteksi dari pergeseran narasi jargon-jargon keagamaan untuk justifikasi politik. Ketiganya melekat pada figur atau komunitas yang bisa menjadi persemaiaan narasi keagamaan itu. Termasuk dalam politik.
Bagaimana karakter ketiganya?
FPI merupakan ormas keagamaan multifaset atau banyak wajah. Ada wajah dakwah, filantropi/aksi kemanusiaan dan pressure group politik. Dipimpin para habaib.
Bisa dikatakan merupakan wadah perjuangan politik (non parpol) para Habaib.
Jumlah massa riilnya masih kecil. Belum memungkinkan membentuk partai politik. Maka ia mencari kuda troya untuk bisa menjalankan misi politiknya. Khususnya melalui figur pimpinan puncak. Menempel pada tokoh-tokoh populer yang bisa mereka kendalikan.