WAWAINEWS.ID – Mbah Benu pemimpin Jamaah Aolia yang membuat heboh dengan mengatakan memiliki cara tersendiri dalam menentukan waktu tibanya Idul Fitri.
Menurutnya, Jamaah Aolia tidak melakukan perhitungan, melainkan menelpon Allah SWT untuk mengetahui penentuan harinya.
“Nggak pakai perhitungan, saya telepon langsung kepada Allah Taala,” kata Mbah Benu dalam video viral tersebut dengan logat khas.
Ucapan Mbah Benu itu membuat kontroversi dari berbagai pihak. Baik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah memberikan pernyataan mengenai ucapan Mbah Benu tersebut.
PBNU bahkan tegas mengecam pernyataan menelpon Allah SWT untuk mengetahui Hari Raya Idul Fitri. Terbaru, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta mengungkap telah melakukan dialog dengan Mbah Benu.
Ada hasil positif dari pertemuan PBNU dengan Mbah Benu sebagai pimpinan Jamaah Masjid Aolia, Raden Ibnu Hajar Pranolo alias Mbah Benu, di Gunungkidul.
Pertemuan ini dilakukan pasca-Idulfitri versi Jamaah Masjid Aolia pada Jumat (5/4), jauh lebih awal dari lebaran pemerintah maupun Muhammadiyah yang diprediksi, Rabu (10/4).
“Alhamdulillah, silaturrahim klarifikasi dan mitigasi Mbah Ibnu Hajar berjalan lancar,” kata Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) DIY Fajar Abdul Bashir dalam keterangan resminya yang diterima, Senin (8/4).
Dari pertemuan ini, Fajar melihat Mbah Benu adalah sosok terbuka dan mudah diajak berkomunikasi. Tak sulit baginya untuk menerima masukan.
Akan tetapi, kata dia, keyakinan ‘kontak’ dengan Allah itu belum bisa hilang 100 persen dan perlu sering dimitigasi supaya bisa kembali ke syariat secara utuh.
“Meskipun agak sulit menjelaskan, karena selain faktor usia, juga karena sudah berkurang pendengarannya, alhamdulillah Mbah Ibnu Hajar sudah mulai taslim. Saya menilai tidak cukup satu atau dua kali, tapi perlu beberapa kali menjelaskan,” tuturnya.
Jika keyakinan Mbah Benu ini nantinya memang sulit dihilangkan, Fajar menyarankan agar hal itu cukup kepentingan pribadi dan tak perlu mengajak masyarakat lain
Fajar juga menyarankan kepada Mbah Benu manakala ada masyarakat yang masih bingung agar mengikuti ketetapan NU dan Pemerintah, bukannya menuruti ijtihad ‘kontak batin’ tadi.
“Dan alhamdulillah Mbah Ibnu Hajar menyepakati hal-hal ini. Untuk hal-hal lain, kami tidak menemukan kejanggalan, seperti shalat, dzikir yang dibaca, dan syariat lainnya masih sama sebagaimana syariat pada umumnya,” ungkap Fajar.
Soal capaian spiritual
Fajar pun mengungkap alasan Mbah Benu menetapkan awal dan akhir Ramadhan hingga selisih lima hari dari umat Islam lainnya. Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, penetapan awal dan akhir Ramadhan jemaah Aolia itu didasarkan pada kontak batin dengan Allah.
“Yang mana dia telah mengatakan wushul (sampai) kepada Allah,” kata Fajar.
Menurut dia, wushul ilallah atau capaian spiritual menempuh jalan ilahi didapat Mbah Benu ketika ziarah ke makam Syech Jumadul Kubro tanggal 21 November 2021. “Jadi, sejak itu dia selalu melakukan ‘kontak’ dengan Allah setiap ada tamu yang akan meminta nasehat. Setelah Mbah Ibnu klarifikasi, kita menyimpulkan bahwa ada masalah yang mukholifussyar’i tentang masalah wushul atau ‘kontak’ dengan Allah,” ungkapnya.
Kepada Mbah Benu, Fajar menerangkan metodologi penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Beberapa dalil ia cuplik dari Alquran maupun hadits.
Fajar menjelaskan wushul ilallah merupakan haq, sesuatu yang benar, akan tetapi tetap tidak bisa lepas dari syariat. Menurut dia, orang yang mengaku wushul ilallah tapi lepas dari syariat tak ubahnya layangan putus.
Fajar mencontohkan Rasulullah Muhammad SAW adalah seorang Nabi sekaligus Rasul dan tak ada orang yang wushul-nya melebihi capaiannya.
Dalam menentukan awal dan akhir bulan, Nabi Muhammad tak melakukan kontak batin dengan Allah SWT, melainkan meminta para sahabatnya melakukan rukyatul hilal atau pemantauan kondisi Bulan untuk menentukan awal Ramadhan hingga Syawal.
“Nabi perintah melihat hilal itu merupakan wahyu dari Allah. Artinya, penetapan awal dan akhir bulan [hijriyah] melalui ru’yatul hilal itu merupakan wahyu dari Allah. Sebab apa yang dilakukan Nabi Muhammad baik perkataan, perbuatan, maupun diamnya, merupakan wahyu,” terangnya.***