Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Dialektika akurasi ketersambungan nasab Habaib semakin melebar. Kini bukan saja elemen (para pihak/peserta) dialektika yang bertambah. Tema dialektika juga melebar.
Atas nama harga diri nasionalisme, cendikiawan hukum Mahfud MD tampil ke panggung diakektika. Ia membela dan mendukung Roma Irama. Untuk memfasilitasi para pihak menuntaskan polemik nasab Habaib. Membongkar kejanggalan-kejanggalan seputar polemik itu.
Begitu pula dengan politisi Nasdem. Irma Hutabarat. Ia menumpahkan kemarahan atas adanya indikasi pembelokan sejarah bangsa oleh sejumlah Habaib.
Secara tematik, polemik nasab justru mencuatkan varian permasalahan baru. Di luar tema pembatalan ketersambungan nasab oleh tesis Kyai Imadudin Al Bantani. Permasalahan baru itu antara lain:
Pertama, indikasi pemanfaatan klaim ketersambungan nasab untuk eksploitasi ummat. Klaim nasab Rasulullah Saw., digunakan untuk mengeksploitasi material kelompok tertentu terhadap ketulusan ummat Islam dalam menghormati Rasulullah Saw. Bentuknya beragam. Mulai dari pemaksaan penyediaan material, hingga menyerahkan istrinya. Suatu tindakan yang bisa dikategorikan kriminal.
Kedua, klaim ketersambungan nasab dipergunakan untuk membangun kelas sosial tertentu. Di atas strata sosial masyarakat yang lain. Sebagaimana doktrin seorang habaib bodoh lebih baik dibanding 70 ulama pribumi.
Hal ini bertentangan dengan ajara Islam. Bahwa kemuliaan dihadapan Allah Swt., itu ditentukan oleh akhlaknya. Bertentangan pula dengan UUD Indonesia yang menetapkan semua warga Indonesia memiliki kedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan.
Ketiga, klaim ketersambungan nasab dipergunakan untuk pembelokan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Banyak peristiwa sejarah diklaim sebagai inisiatif kaum Habaib. Begitu pula tokoh-tokoh pejuang bangsa dilekati label sebagai Habaib.
Sementara sejarah mencatat banyak tokoh Habaib merupakan kolaborator penjajah Belanda. Untuk menundukkan perjuangan muslimin Indonesia melawan penjajah. Juga klaim Nusantara milik ulama Tarim.
Pembelokan sejarah ini membahayakan negara. Milan Kundera mengungkapkan sinyalemen: “Untuk membunuh tanaman, racun akarnya”. Untuk membunuh bangsa, racun sejarahnya”. Pembelokan sejarah esensinya pembunuhan karakter sebuah bangsa. Membunuh bangsa itu.