Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Idiologi warga Jakarta itu tergambar dari survei LSI terbaru. Dirilis 18/9/ 2024.
Kaum muda, khususnya pemilih pemula, cenderung memilih cagub RK: Ridwan Kamil. Sementara kaum tua cenderung resisten terhadap RK.
Usia 17-25, 70,9% memilih RK-Suswono. Kaum milenial muda-tua (usia 26-55) masih unggul sebagai pemilih RK.
Walau tidak sekuat pemilih pemula. Angkanya masih 54,6%.
Pada rentang usia 56 tahun ke atas, dukungan terhadap RK justru melemah. Pramono-Rano Karno unggul dukungan di kalangan usia tua. 56 tahun ke atas.
Secara demografis, pemilih generasi x dan milenial menempati porsi terbesar jumlah penduduk. Secara umum RK-Suswono masih unggul jauh dibanding pesaing-pesaingnya.
Data itu tidak hanya bisa dibaca dalam optik keunggulan kontestasi elektabilitas kandidat semata. Melainkan cerminan visi idiologis warga Jakarta.
Usia muda merupakan fase growt. Tumbuh. Fase membara mengejar kemajuan. Termasuk usia milenial batas atas. Masih merupakan fase puncak usia produktif.
Jakarta dalam satu tahun terakhir menggaung spirit kota global. Gapura gang hingga RT-RW terpampang slogan “Jakarta Kota Global”.
Khususnya sejak rencana kepindahan Ibu kota yang ternyata delay. Keppres IKN belum juga terbit. Keppres itu syarat definitif Jakarta lepas status Ibukota.
Generasi x dan milineal mempercayakan aspirasinya pada RK. Mencerminkan idiologi mayoritas warga Jakarta. Perubahan: growt (tumbuh) dan maju. Hal itu sejalan dengan tawaran dan spirit RK-Suswono jika dipercaya mengelola Jakarta.
RK menawarkan ide rehabilitasi setiap sudut Jakarta secara partisipatif. Program 200 Juta setiap RW. Didukung 1 arsitek satu kecamatan.
Jakarta tidak hanya akan indah dan menarik secara visual. Bebas dari sudut-sudut kumuh.
Jakarta akan kukuh eksistensinya sebagai pusat kreativitas. Pusat tambang uang. Hingga setiap jengkal perkampungan pelosok-pelosok RT-RW. Bukan terhenti di gedung-gedung perkantoran saja.
Pada era content creator. Creative community. Adanya spot-spot menarik hingga RT menjadikan Jakarta sebagai creative city. Pusat kreatifitas dan tambang uang hingga setiap sudut.
RK juga menawarkan gagasan integrasi pusat-pusat perekonomian dengan hunian. Melalui program hunian vertikal. Agar kaum professional tidak tersandera jarak ketika bekerja.
Selama ini jarak tempuh hunian dan pusat-pusat bisnis menjadikan pendapatan warga Jakarta tergerus hingga 30%. Untuk transportasi.
Pasar-pasar akan dibangun vertikal. Bawah untuk pusat ekonomi. Di atasnya untuk hunian.
Program hunian vertikal ini akan menjadi solusi kaum professional Jakarta. Untuk lebih produktif dalam bekerja. Tidak tersandera kemacetan-kemacetan transportasi sebagaimana selama ini.
Untuk mengatasi amblesnya tanah-tanah di sisi utara Jakarta. RK mengungkapkan keinginannya menjadikan Jakarta Utara seperti Dubai. Membangun Giant Sea Wall.
Pengelolaan kawasan utara melalui pendekatan bisnis. Sehingga investasinya bisa digali dari swasta.
Secara campaign, lontaran program 200 juta setiap RW menjadi magnet bagi RT-RW untuk ikut memenangkan RK-Suswono.
Program hunian vertikal menjadi magnet kalangan profesional. Program penataan Jakarta Utara dari ancaman tenggelam akan menarik dukungan pengembang dan pebisnis.
Survei LSI mengkonfirmasi hal itu. Kaum muda menyambut dan memberi ruang RK mewujudkan gagasannya.
Pasangan Pramono-Rano kurang tampak gagasan baru. Mereka tampilkan romantisisme Si Doel. Kisah sinetron jaman jadul.
Selebihnya, terlihat responsif dan reaktif terhadap gagasan-gagasan RK-Suswono.
Romantisisme itu bisa diduga bisa menjelaskan kecenderungan itu. Kenapa kaum tua lebih banyak menjatuhkan dukungan pada pasangan Pramono-Rano. Kaum yang memorinya tersandera era si Doel.
Mungkin juga ada penjelasan lain. Kalangan usia tua bisa juga mencerminkan kaum gagal move on. Pendukung Anies Baswedan (?). Gagal mendapat kendaraan untuk maju, RK di musuhi.
Buktinya RK ditolak kehadirannya di sejumlah tempat. RK berada pada barisan pemenang pilpres yang harus dimusuhi. Suara pendukung Anies dilimpahkan kepada Pramono-Rano. Mungkin saja.
Begitu pula pasangan Dharma-Kun. Gagasan-gagasan barunya tidak menyeruak ditengah-tengah diskursus warga Jakarta. Tidak menarik bagi banyak calon pemilih.
Warga Jakarta tidak tertarik terhadap segala hal tanpa ada harapan: growt dan kemajuan.
Jatidiri idiologisnya selalu berubah dinamis. Untuk growt dan maju.
Maka mereka jatuhkan pilihan pada sosok yang diyakini bisa membawa tumbuh dan maju.
Mungkin begitu pesan yang tertangkap dari survei itu.
ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 19-09-2024