Opini

Prabowo di Tengah Politik Sengkuniisme?

×

Prabowo di Tengah Politik Sengkuniisme?

Sebarkan artikel ini
Momen pertemuan dua tokoh politik Indonesia antara Prabowo dan SBY saat bersama menghadiri acara penganugerahan guru besar tidak tetap di bidang kesehatan militer Universitas Pertahanan RI kepada Letjen TNI Purn Dr dr Terawan Agus Putranto SpRad beberapa waktu lalu

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID Sengkuni. Merupakan simbol kelicikan dalam dunia pewayangan. Ia sosok perdana menteri kerajaan Astina. Lihai membuat intrik. Pengadu domba. Pemicu disharmoni dan peperangan.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Jika ingin melampiaskan tabiat bertengkar. Panggil Sengkuni. Dari tidak memiliki alasan bertengkar, menjadi muncul beragam alasan untuk bertengkar. Tidak ada alasan untuk menghindarinya. Itulah sengkuni.

Idologi Sengkuniisme adalah sebuah perilaku pengedepanan intrik dalam diskursus politik. Bukan adu nilai. Adu gagasan. Adu Ide.

Melainkan bagaimana memunculkan framming saling menyudutkan di luar hal-hal prinsipil.

Akibatnya tumbuh saling curiga, aroma kejengkelan, hard fealing. Pada taraf ekstrim tumbuh satu situasi: tidak bisa menghindar untuk bertengkar.

Peradaban politik di Indonesia tampaknya masih banyak dililit “politik sengkuniisme” itu. Ketika gagal melalui kompetisi konvensional. Jurus intrik dibuat untuk menjatuhkan lawan.

Pencermatan soal ini lebih menekankan pada konten isu. Bukan mengacu orang-orang atau kelompok orang terlibat.

Sebagai contoh adalah intrik terkait statemen calon presiden terpilih. Prabowo Subianto. Pada suatu kesempatan membuat statamen soal pentingnya stabilitas.

Media mengkreasinya melalui judul berita. “Prabowo: Untuk Apa Bangun Kereta Cepat dan Jalan kalau Negara Ini Tidak Aman?”.

BACA JUGA :  Prabowo: Ketua Umum NasDem Sahabat Saya Sejak Muda

Statemen itu dibuat intrik. Seakan-akan Prabowo menyerang Jokowi. Bahwa percuma Presiden Jokowi membangun infrastruktur.

Karena faktanya stabilitas menjadi barang mahal. Jokowi tidak peka prioritas kebutuhan rakyat. Itulah intrik yang dibangun.

Intrik juga “digelorakan” Ketua Umum PDIP Megawati dalam Rakernas V PDIP. MK sudah memutuskan kemenangan Prabowo-Gibran tidak bermasalah. KPU juga sudah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang.

Ketua umum partai justru mengemukakan terbuka: ada kecurangan pesta demokrasi secara TSM. Ketika jalur-jalur formal penegakan hukum menyatakan sebaliknya. Maka statemen itu jatuhnya menjadi intrik.

Satatemen itu dinilai sejumlah pihak sebagai delegitimasi. Ditujukan kepada cawapres terpilih. Gibran. Pada sisi lain memberi apresiasi positif kepada presiden terpilih Prabowo.

Dinilai berbagai pihak sebagai upaya memecah koalisi Prabowo-Jokowi.

Ternyata PDIP sendiri belakangan diisukan hendak menjalin koalisi dengan Prabowo.

Terakhir muncul isu akun “fufufafa”. Statemen-statemen yang dihembuskan sebagai milik wapres terpilih. Ketika menyudutkan presiden terpilih pada masa lalu. Andaipun benar kepemilikan akun itu. Semua sudah berlalu.

Bahwa pada masa yang lalu keduanya saling berkompetisi. Tidak mustahil beragam isu digelontor. Bahan saling menjatuhkan. Apalagi jika terbukti akun itu bukan milik wapres terpilih.

Isu-isu seperti itulah mencuat dalam peradaban Sengkuniisme. Bukan isu-isu substansial.

BACA JUGA :  Ganjar-Mahfud Tak Hadiri Penetapan Presiden Terpilih Prabowo-Gibran

Intinya peradaban politik kita masih menyukai tema-tema intrik. Bukan isu-isu strategis berbangsa bernegara.

Isu-isu strategis perjuangan ide dan gagasan melalui jalur-jalur formal. Melainkan menyukai berbagai character assasination melalui beragam produksi intrik.

Beruntungnya, intrik itu ditujukan kepada presiden terpilih Prabowo. Ia berlatar komando tempur militer. Terbiasa mengambil keputusan cepat. Untuk menghindarkan pasukannya dari beragam disinformasi.

Prabowo menjawab intrik-intrik itu.

Pertama, tidak ada keretakan antara dirinya dengan Presiden Jokowi. Ia bahkan menjamin akan melindungi Presiden Jokowi.

Kedua, ia menyatakan berdiri di tengah-tenah rakyat. Bahkan mempersilahkan untuk ditinggalkan jika Prabowo sudah terindikasi meninggalkan rakyat.

Ketegasan menghadapi intrik itu menyelamatkan pendukung Prabowo dan Jokowi terlibat pertengkaran politik. Jika tidak dikendalikan intrik bisa membesar dan merugikan semuanya.

Bertengkar untuk sesuatu yang tidak lagi prinsipil.

Bangsa ini telah banyak belajar dari bahaya intrik. Pada era Indonesia modern kita mengenalnya dalam kasus G30S/PKI.

Ketika intrik Dewan Jenderal menjadi bola liar, akhirnya berujung kudeta.

Berlindung di balik spirit penyelamatan presiden dari kudeta Dewan Jenderal, pembunuhan para jenderal terjadi.

Ketidaktegasan Presiden Soekarno terhadap PKI, memicu civil war. Pendukung komunis dan anti komunis bertengkar. Banyak nyawa melayang.

Pada awal orde baru, produsen-produsen intrik ini menjadi salah satu yang petrtama-tama dieliminasi.

BACA JUGA :  Prabowo Masuk daftar Tokoh Muslim Berpengaruh Dunia

Cerita tutur masyarakat Jawa juga mengajarkan bahaya strategi komunikasi pemimpin yang memicu multi tafsir. Muncul dalam kasus loyalis Ajisaka: Dora-Sembada.

Salah satunya diminta Ajisaka menjaga pusaka. Agar tidak boleh diambil siapapun kecuali Ajisaka mengambilnya.

Suatu waktu Ajisaka memerintah loyalis yang lain, atasa namanya, untuk mengambil pusaka. Bertengkarah dua loyalis itu.

Masing-masing menerima perintah dari Ajisaka. Perintah yang berbeda. Bertarunglah dua loyalis itu hingga sama-sama terbunuh. Kisah itu diabadikan dalam huruf Jawa.

Ketegasan Prabowo mengarungi intrik sangat berarti. Untuk tidak membiarkan rakyatnya bertengkar oleh adu kebenaran intepretasi. Oleh kemenduaan intepretasi terhadap suatu hal.

Kejelasan sikap pemimpin akan mereduksi intrik-intrik yang berdampak destruktif itu.

Apakah ketegasan itu masih akan berlagsung. Hingga akhir jabatan. Pada banyak isu. Bukan semata soal hubungan Jokowi-Prabowo?.

Tentu, lagi-lagi kita hanya bisa menunggunya. Dilantik saja belum.

Kita hanya bicara soal pentingnya pemimpin membersihkan diri dari kemenduaan sikap. Sikap yang bisa dimaknai multitafsir tanpa ada ketegasan penjelasan.

Karakter itu akan membahayaan bangsa. Para loyalis bangsa akan bisa bertengkar satu sama lain. Diadu oleh kemenduaan atau ketidaktegasan sikap pemimpin.

ARS (rohmanfth@gmail.com): Jaksel, 29-09-2024.***