Opini

Mbak Tutut Membersamai Golkar?

×

Mbak Tutut Membersamai Golkar?

Sebarkan artikel ini
Foto Mba Tutut

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Narasi itu tidak pernah tidak nyaring. Ialah narasi agar keluarga Presiden Soeharto turut kembali mengendalikan Partai Golkar.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Selalu saja muncul atau dimunculkan. Sepanjang era reformasi ini.

Tahun 2014 survei Charta Politika mengemukakan data pemilih Golkar. Sebanyak 32,8 % pemilih Golkar menganggap Golkar mewakili semangat Orde Baru. Semangat perjuangan Presiden Soeharto.

Pemilu 2024 terdapat tokoh publik menggunakan AI. “Menghidupkan” Presiden Soeharto untuk menyampaikan pesan memilih Partai Golkar.

Narasi seperti itu kini juga muncul (dimunculkan) kembali.

“Mbak Tutut Diharapkan Kembali Bergabung ke Golkar”, begitu tulis rm.id. Media Rakyat Merdeka tanggal 2 Januari 2025.

Radar Buleleng juga menurunkan berita serupa. “Agus Widjajanto: Ada Dorongan dari Berbagai Elemen Masyarakat agar Mbak Tutut Kembali ke Golkar!”. Begitu tulisnya pada tanggal 3 Januari 2025.

Mbak Tutut atau Siti Hardiyanti Rukmana, merupakan putri pertama presiden kedua RI. Jenderal besar HM. Soeharto.

Ia lahir tahun 1949. Pada saat ayahnya, (kala itu) Lektkol, Soeharto, memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949.

Mbak Tutut ditempa masa-masa susah revolusi fisik. Masa ketika ayahnya bertaruh nyawa. Berjuang mengusir penjajah Belanda. Melawan pemberontakan-pemberontakan daerah. Termasuk pemberontakan PKI.

BACA JUGA :  Maret, Soeharto dan Ketidaksabaran HB X

Pada 1 Oktober 1965 itu, ayahnya (Mayjen Soeharto) menghadapi situasi tidak pasti. Bekerja keras mematahkan pemberontakan PKI.

Mbak Tutut beserta keluarganya diungsikan ke jalan Wijaya Jakarta. Beberapa hari. Tentunya merasakan betapa mencekamnya masa-masa itu.

Pada era kepimpinan ayahnya sebagai presiden, Mbak Tutut aktif menjadi pelaku ekonomi. Pernah dijuluki “ratu jalan tol”. Aktif pula kegiatan sosial. Berbagai pihak menganggap sebagai “satrio piningit” masa lalu. Calon pemimpin masa depan pada masanya.

Presiden Soeharto berhenti dari jabatannya, Mbak Tutut juga surut dari gelanggang politik.

“MC, Momong Cucu”, begitu biasanya jika ditanya apa kesibukannya. Kini Mbak Tutut masih terlihat bugar. “Masih seperti puluhan tahun lalu”, begitu komentar banyak orang.

Hingga puncak pandemi lalu, masih rutin latihan Thai Boxing seminggu sekali. Mengundang pelatih khusus.

Sejumlah pihak menyebutnya mirip “knight highlander”. Kisah kesatria berusia panjang. Melewati banyak zaman.

Mbak Tutut merupakan sedikit orang tersisa melewati empat zaman itu: revolusi fisik, orde lama, orde baru, orde reformasi. Bisa dikatakan sebagai “perpustakaan hidup” perjalanan kebangsaan yang masih tersisa.

Kembali pada mencuatnya narasi: “keluarga Persiden Soeharto seyogyanya membersamai Partai Golkar”. Kita bisa mencermatinya melalui tiga perspektif.

Pertama, perspektif historis. Presiden Soeharto tidak bisa dipisahkan dari eksistensi partai Golkar. Partai ini muncul, eksis dan kemudian merajai jagad politik Indonesia tidak lepas dari peran Presiden Soeharto.

BACA JUGA :  Kisah Kecebong, Kampret dan Kadal Gurun

Wajar ketika muncul keinginan berbagai pihak agar Golkar tidak lepas dari akar historisnya. Salah satunya dengan ketersediaan ruang bagi putra-putri atau cucu Presiden Soeharto melakukan perjuangan politik melalui Golkar.

Termasuk untuk memersatukan simpul-simpul kekuatan Golkar masa lalu, bagi kebesaran Golkar pada masa depan.

Kedua, perspektif politis. Adalah terjadinya paradigm shift, atau pergeseran paradigma dalam tradisi manajemen internal partai Golkar. Sebagai jawaban menghadapi pergeseran era: dari orde baru ke reformasi.

Ialah pergeseran tradisi politik dua madzhab: “musyawarah mufakat” dan “politik gladiator”.

Pada masa Orde Baru, kepemimpinan Partai Golkar setiap jenjang ditentukan berdasarkan musyawarah mufakat.

Aspirasi beragam faksi didialektikakan dan ditampung untuk kemudian disinergikan dengan agenda kepemimpinan nasional. Pos-pos penting kepartaian nyaris tidak ditentukan melalui perebutan terbuka.

Memasuki era reformasi, partai menghadapi tantangan. Ialah hujatan publik yang ditimpakan kepada Presiden Soeharto. Ditimpakan pula pada partai Golkar. Bahkan muncul tuntutan pembubaran partai.

Pada situasi seperti itu, mengemukalah peran para aktivis sebagai pengendali dominan Partai Golkar. Pos-pos penting kepartaian diperebutkan melalui kontestasi terbuka. Golkar berubah menjadi “arena gladiator” untuk melahirkan “gladiator-gladiator politik”.

Para aktivis ditempa kaderisasi politik sejak mahasiswa. Ditempa saling jatuh menjatuhkan dalam kontestasi politik.

BACA JUGA :  Anak Petani, Siap Bertarung di Pilkada Lamsel 2020

Maka lebih lihai menguasai pos-pos strategis di Partai Golkar. Sekaligus menjadi perisai utama dalam menghadapi hujatan eksternal terhadap partai Golkar.

Alhasil, Partai Golkar tetap eksis hingga saat ini. Penganut madzhab “musyawarah mufakat” relatif terpinggir dalam pengelolaan partai. Termasuk putra-putri Persiden Soeharto.

Ketiga, perspektif psikologis. Putra-putri Presiden Soeharto tergolong tokoh senior. Manajemen “musyawarah mufakat” yang dianutnya menempatkan semua faksi dalam tubuh Golkar merupakan “anak-anak asuh”-nya.

Akan dirasa tidak elok ketika harus ikut berebutan pos-pos strategis Golkar dengan anak-anak asuhnya sendiri. Ada kejanggalan psikologis dalam memenuhi harapan sejumlah pihak untuk ikut mengendalikan Golkar, jika itu harus dilalui melalui mekanisme “politik gladiator”.

Bagaimana jalan keluarnya?. Tentu itu urusan internal partai Golkar sendiri. Termasuk seberapa besar masing-masing pendukung faksi “musyawarah mufakat” dan “politik gladiator” saling memerlukan.

Salah satunya bisa melalui konsensus. Siapapun faksi pemenang pengelola Golkar, keluarga Presiden Soeharto memiliki satu porsi keanggotaan Dewan Pembina.

Faksi “musyawarah mufakat” khususnya simpul-simpul Golkar masa lalu memiliki saluran formal dalam tubuh partai. Tanpa mengusik kenyamanan faksi “politik gladiator”. Keduanya saling memerlukan. Kemudian saling membesarkan.

Mungkin begitu ???

Abdul Rohman Sukardi
Abdul Rohman Sukardi

ARS (rohmanfth@gmail.com), Jakarta, 08-01-2025