Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 04/04/2025
WAWAINEWS.ID Hari-hari ini silaturahmi lebaran masih berlangsung. Terutama di desa-desa. Di kampung-kampung. Silaturahmi itu berlangsung hingga hari raya ketupat. Hari ke 8 Lebaran (tanggal 8 Syawal). Bahkan hingga menjelang bulan syawal berakhir.
Berbeda dengan masyarakat kota. Mobil mengular. Sibuk memanfaatkan jeda liburan untuk berkunjung ke tempat-tempat wisata. Silaturahmi lebaran biasanya berumur satu dua hari saja. Tepat pada 1 dan 2 Syawal.
Di kampung, silaturahmi lebaran memiliki jurnalnya sendiri. Maraton. Tidak ada habis-habisnya. Berhari-hari.
Hari pertama, sungkem/silaturahmi kepada orang tua. Atau pengganti orang tua (kakak-adik orang tua). Dilanjut tetangga sekitar. Lingkungan rumah terdekat. Pagi hingga malam 1 Syawal.
Mendatangi satu persatu rumah tetangga. Datang menyampaikan ucapan Iedul Fithri. Sambil tidak lupa mohon dimaafkan atas semua kesalahan yang telah lalu. Basa-basi sebentar. Makan hidangan secukupnya. Anak-anak kecil diberi angpao oleh tuan rumah. Dilanjut silaturahmi kepada tetangga yang lain. Begitu seterusnya.
Tetangga yang didatangi juga kembali membalas kunjungan. Walaupun sudah ketemu di jalan, di rumah orang lain, atau sudah dikunjungi, mereka balik mengunjungi rumah si pengunjung. Ada respek. Resiprokal. Saling kunjung. Mengucapkan selamat lebaran dan minta maaf.
Kecuali orang-orang tua yang tidak lagi leluasa melakukan mobilitas. Mereka tidak keluar rumah. Menuggu tamu. Baru setelah tamu-tamu reda, mereka berkunjung ke saudara-saudaranya. Biasanya setelah lebaran ketupat.
Hari ketiga, dan ke 4, trend lebaran hari ini dilakukan reuni keluarga. Semua anggota keluarga dari dinasti sebuah keluarga berkumpul. Bersilaturahmi. Mendoakan yang sudah wafat. Ramah tamah. Menjadi media bertemu bagi keluarga yang tidak bisa berkunjung satu persatu karena alasan jarak atau tuntutan pekerjaan.
Hari berikutnya bersilaturahmi ke teman-teman profesi. Teman-teman kantor. Teman-teman sekolah. Maupun perkolegaan. Guru-guru. Begitu seterunya. Semakin banyak teman, jurnal lebaran semakin panjang. Hingga bulan Syawal berakhir.
Lebaran bukan saja momentum merekatkan solidaritas sosial. Lebaran merupakan restart tahunan atas sistem ketahanan sosial itu sendiri. Momentum untuk memulai interaksi sosial yang baru. Saling memaafkan kesalahan masa lalu. Sambil berkomitmen untuk memulai relasi sosial baru yang lebih baik. Lepas dari jeratan permasalahan yang dialami pada masa-masa sebelumnya.
Itulah kenapa Lebaran bisa menjadi instrumen penguatan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Memperkuat kemampuan kolektif manusia dalam menyelesaikan beragam masalah yang dihadapi bersama. Satu sistem sosial yang secara otomatis mampu menggerakkan dirinya melakukan perbaikan-perbaikan mutu hidup bersama. Mulai skala keluarga, lingkungan hingga skala bangsa.
Sistem sosial seperti itu dibentuk oleh ajaran agama Islam. Ajaran itu diinternalisasikan sebagai budaya masyarakat. Kemudian membentuk sistem ketahanan sosial.
Puasa Ramadhan melatih pribadi-pribadi untuk kuat dalam pengendalian diri. Secara kolektif juga membentuk masyarakat yang kuat dalam pengendalian diri. Tidak mudah tersulut emosi. Mampu berfikir rasional, open minded dan berfikir konstruktif.
Zakat Fithrah melatih kepekaan sosial. Untuk saling meringankan beban hidup. Agar semua masyarakat sekitar mampu menikmati keceriaan bersama.
Islam juga mengajarkan saling memafkan. “Barang siapa memaafkan kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan memaafkan kesalahannya pada hari kiamat nanti”. Bahkan tidak saling bersapa lebih tiga hari berada dalam ancaman dosa. “Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa pada saudaranya lebih dari tiga hari lalu meninggal dunia maka ia akan masuk ke dalam neraka.” (HR Abu Dawud).
Ajaran-ajaran itu membentuk sistem sosial dengan kepekaan solidaritas kolektif. Tidak menjadikan anggota masyarakat individualis. Sistem sosial ini merupakan modal sosial yang sangat berharga. Secara otomatis mampu mengatasi baragam permasalahan yang dihadapi anggota masyarakatnya.
Ketika anggota masyarakat menderita kesulitan, sistem sosial dengan sendirinya akan mengatasinya. Kelaparan, kemiskinan, rasa sakit. Sudah dengan sendirinya tergerak solidaritas masyarakat untuk membantunya. Menanganinya. Meringankan bebannya.
Itulah implikasi positif tradisi silaturahmi lebaran di Indonesia. Salah satu keunggulan modal sosial yang dimiliki rakyat Indonesia. Bahkan jika dibanding dengan bangsa-bangsa lain.
• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)