JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan taringnya terhadap praktik penambangan ilegal yang makin merajalela di pulau-pulau kecil. Kali ini, giliran Pulau Citlim di Kecamatan Sugie Besar, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, yang menjadi lokasi sidak panas dari tim Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan.
Dalam sidak tersebut, KKP menemukan indikasi kerusakan ekosistem pesisir akibat aktivitas tambang pasir oleh perusahaan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang masih aktif.
Dua perusahaan lainnya dilaporkan sudah berhenti beroperasi karena masa izinnya habis meskipun jejak kerusakannya belum tentu ikut pensiun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan, Koswara, menyampaikan bahwa pulau-pulau kecil memiliki perlindungan hukum yang jelas.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 (revisi dari UU No. 27 Tahun 2007), kegiatan tambang dilarang jika terbukti merusak lingkungan, mencemari perairan, atau merugikan masyarakat.
“Pulau-pulau kecil adalah ekosistem yang rentan. Tambang ilegal itu tidak hanya melanggar hukum, tapi juga merusak masa depan lingkungan dan nelayan. Kita tidak bisa tukar ikan dengan pasir,” ujarnya sambil menekankan bahwa aturan ini bukan sekadar dekorasi undang-undang.
Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Ahmad Aris, menjelaskan bahwa Pulau Citlim dengan luas hanya 22,94 km², tergolong sebagai pulau sangat kecil.
Artinya, aktivitas eksploitasi berskala besar di sana bukan hanya tidak layak, tapi juga sangat berisiko merusak keseimbangan ekosistem laut di sekitarnya.
“Kegiatan yang merusak bentang alam dan ekosistem jelas melanggar aturan. Kalau terus dikeruk, bukan pulau yang untung tapi justru jadi tenggelam,” kata Aris, dengan nada separuh serius, separuh satire.
Aris juga mengingatkan bahwa pemanfaatan pulau kecil, apalagi oleh penanam modal asing (PMA) atau penanaman modal dalam negeri (PMDN), harus memenuhi syarat ketat. Mulai dari pengelolaan lingkungan, menjaga sistem tata air, hingga penggunaan teknologi ramah lingkungan.
Penguatan perlindungan ini semakin diperkuat dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023, yang menegaskan bahwa pemanfaatan pulau kecil harus dilakukan secara berkelanjutan, akuntabel, dan tidak diskriminatif.
Putusan ini memperjelas bahwa regulasi terkait pulau kecil termasuk UU No. 27 Tahun 2007 harus menjadi dasar utama (rule based) dalam tata kelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dengan kata lain, tak bisa lagi ada “jalan tikus” hukum untuk merusak pulau dengan dalih investasi.
Sidak Temukan Bukti Kerusakan
Dalam sidak di Pulau Citlim, tim KKP menemukan satu perusahaan tambang yang masih beroperasi aktif meski berada di zona sepadan pantai, area yang seharusnya steril dari aktivitas berat.
Lokasi tambang menunjukkan kerusakan cukup parah, dan berpotensi mengganggu rantai kehidupan biota laut.
Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) akan segera menindaklanjuti dengan langkah pengawasan dan penegakan hukum, sebagai bagian dari upaya menutup celah eksploitasi ilegal di wilayah yang sensitif secara ekologis.
KKP: Jangan Anggap Pulau Kecil Itu “Tanah Kosong”
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, sebelumnya telah menegaskan bahwa pulau kecil memainkan peran vital dalam kelestarian ekosistem laut nasional.
Melalui Permen KP Nomor 10 Tahun 2024, pemerintah menetapkan panduan ketat untuk pengelolaan pulau-pulau kecil dan wilayah perairan sekitarnya.
“Pulau kecil bukan tanah kosong yang bisa digali sesuka hati. Ia adalah bagian dari tubuh Indonesia, dan harus kita rawat seperti merawat jantung sendiri,” ujar Menteri Trenggono dalam sebuah pernyataan sebelumnya.***