Scroll untuk baca artikel
Opini

Sepuluh Kesalahan Reformasi 1998

×

Sepuluh Kesalahan Reformasi 1998

Sebarkan artikel ini
Abdul Rohman Sukardi
Abdul Rohman Sukardi

Metode Delphi / Pakar Panel. Merupakan kumpulkan penilaian dari sejumlah pakar multidisiplin (politik, hukum, ekonomi, sosiologi, pembangunan). Skoring berdasarkan literatur, data sekunder, dan preseden historis (misalnya: kajian Bappenas, LIPI, World Bank, UNDP, dll).

Analisis Skor Multikriteria (Multi-Criteria Impact Analysis). Data berbasis literatur & diskursus kebijakan 25 tahun terakhir (termasuk studi dari CSIS, The SMERU Institute, Komnas HAM, serta beberapa jurnal reformasi politik).

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Metode Dampak Terbobot (Weighted Impact Assessment). Menggunakan komponen stagnasi nasional (ekonomi, tata kelola, sosial, budaya) sebagai dasar pembobotan. Begitu juga dengan “Pemodelan Sederhana Dampak Relatif”. Dengan menggunakan dampak- dampak relatif secara terukur. Misalnya dampak ketiadaan GBHN maupun dampak kebijakan yang lain.

Data-data yang tersimpan dalam residu digital itu kemudian dibuat pembobotan dan skoring. Kemudian diketemukan Kesimpulan fakator-faktor penghambat itu:

Pertama, penghapusan GBHN tanpa pengganti visi pembangunan jangka panjang. Bobotnya 15% sebagai penghambat kemajuan. RPJM-P dibuat. Akan tetapi tidak memiliki payung hukum sebagai penjaga keberlangsungannya.

IKN dinilai dimulai tanpa konsensus nasional, rawan dihentikan. Tidak ada visi industri jangka panjang; hilirisasi tambang bisa berhenti mendadak. Rencana pembangunan berubah tiap kabinet (Nawacita, RPJMN, dll, tidak mengikat presiden berikut). Ketahanan energi dan pangan tidak dirancang 25–50 tahun ke depan. Proyek strategis nasional kerap dipolitisasi.

Transisi presiden Jokowi – Prabowo dinarasikan sebagai keberlangsungan. Faktanya ada pergeseran fundamental. Agresivitas pembangunan infrastruktur Presiden Jokowi bergeser fokusnya menjadi daulat pangan, daulat energi, revolusi SDM dan industrialisasi pada era Presiden Prabowo.

Kedua, desentralisasi dan otonomi daerah tanpa pengawasan: menempati porsi 13 %. Sebanyak 300+ kepala daerah tersangkut korupsi. Otonomi dimanfaatkan sebagai monopoli keluarga/dinasti lokal. Dana desa banyak diselewengkan (ada desa fiktif). Ketimpangan antar daerah melebar; ketergantungan pada pusat tetap tinggi. Pemekaran wilayah dipicu kepentingan politik, bukan efektivitas.

Ketiga, femokrasi prosedural tanpa substansi (12%). Politik uang masif dalam pemilu (serangan fajar jadi lazim). Calon pemimpin ditentukan DPP partai, bukan konstituen rakyat. Lemahnya kontrol rakyat setelah pemilu (representasi semu). Voter apatis karena tidak percaya pada wakil rakyat. Parlemen lebih loyal ke partai daripada ke konstituen.

Keempat, Liberalisasi ekonomi tanpa strategi kedaulatan nasional (11%). Banyak aset strategis dijual ke asing pasca 1998 (telekomunikasi, bank). UMKM tergencet produk impor dari China dan negara lain. Pasar digital dikuasai perusahaan asing (e-commerce, ride hailing). Omnibus Law mengutamakan investasi asing, mengurangi perlindungan buruh. Impor pangan dan energi tetap dominan meski Indonesia potensial swasembada.

SHARE DISINI!