LAMPUNG TENGAH – Sungai Way Seputih menjerit, tapi yang datang bukan bantuan, melainkan ekskavator. Aktivitas tambang pasir ilegal di Desa Rejosari, Kecamatan Seputih Mataram, Lampung Tengah, semakin menggiladan seperti biasa, pemerintah dan aparat memilih menjadi patung taman, indah dipandang, tak berguna?.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Lampung, alih-alih bertindak tegas, malah menyarankan laporan dialihkan dulu ke DLH Kabupaten Lampung Tengah. Semacam lempar bola, tapi bolanya adalah nasib lingkungan.
“DLH Provinsi sudah arahkan agar laporan diajukan dulu ke DLH Lamteng,” ujar Medi Mulia, Ketua BPAN Lampung kepada Wawai News, Sabtu.
Katanya, ini agar DLH Lamteng “melek” kalau wilayahnya sedang dilucuti hidup-hidup. Karena mungkin, saat ini mereka masih tertidur pulas atau sibuk main golf.
Di sepanjang Sungai Way Seputih, tambang liar bukan lagi dilakukan sembunyi-sembunyi. Alat berat menggali, pipa menyedot, truk berlalu-lalang semua terang benderang di bawah matahari dan (sayangnya) juga di bawah hidung aparat.
“Sudah bertahun-tahun begitu. Ditutup satu, muncul sepuluh. Sekarang malah kayak pamer,” keluh Medi.
Menurutnya, para pelaku tak punya izin, tapi punya ‘koneksi’. Bukan ke langit, tapi ke ‘oknum’ yang lebih berkuasa dari hukum.
“Koordinasi dengan oknum, bukan dengan negara. Izin tak ada, tapi lapangan lancar. Negara ini rupanya kalah telak dari koordinator tambang!” sindir Medi.
Lubang-lubang tambang dari Padang Ratu sampai Jembatan Kembar dibiarkan menganga seperti luka busuk yang ditutupi daun pisang. Sungai dulunya jernih, kini lebih cocok disebut kolam lumpur raksasa.
Tak tanggung-tanggung, Medi bahkan menyebut nama-nama pelaku seperti Jarwo, Anton, Giono, dan Budi.
“Nama-nama ini sudah jadi rahasia umum. Tapi entah kenapa, mereka kebal hukum. Mungkin karena mereka lebih sakti dari aparat,” ucapnya getir.
Bukan cuma sungai yang rusak. Nelayan kehilangan ikan. Air bersih jadi barang langka. Tapi aparat dan pejabat tetap bungkam, mungkin karena sudah terlalu kenyang.
“Kami minta DLH dan ESDM segel lokasi itu. Angkut semua alat berat. Kalau nunggu banjir bandang dulu baru sibuk, ya jangan ngaku pemerintah!” tegas Medi.
Sayangnya, seperti biasa, kerusakan lingkungan hanya jadi latar belakang senyap dari panggung kekuasaan. Di mana pejabat lebih rajin menghitung ‘setoran’ ketimbang dampak ekologis. ***