Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 29/06/2025
WAWAINEWS.ID – Pendidikan ideologi di banyak negara tidak selalu eksplisit disebut “ideologi negara”. Melainkan dibungkus sebagai pendidikan moral, kewarganegaraan, atau karakter nasional.
Indonesia mengenalnya sebagai “Pendidikan Pancasila”. Ditransformasikan melalui sekolah maupun non sekolah. Metode internalisasi nilai-nilai Pancasila itu melewati jalan panjang. Sejak merdeka hingga saat ini.
Era Orde Lama (1945–1966) – Sukarno. Era awal kemerdekaan. Stabilitas politik belum tercapai. Berbagai ideologi berkembang: nasionalisme, Islam, komunisme. Transformasi Pancasila dilakukan dengan memposisikan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa.
Presiden Sukarno mengembangkan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Mencoba memadukan Pancasila dengan realitas politik saat itu. Pancasila ditekankan sebagai dasar negara, tetapi pemahamannya bercampur dengan kepentingan ideologis lain. Metode penyebaran dilakukan melalui sekolah: kurikulum mulai mengenalkan Pancasila secara formal, namun belum sistematis. Sedangkan non sekolah dilakukan melalui pidato-pidato kenegaraan dan media massa pemerintah. Kelenturan rezim mengakomodasi idiologi bertentangan dengan Pancasila berujung tragedi 1965.
Era Orde Baru (1966–1998) – Soeharto. Ialah rezim militer. Menekankan stabilitas dan pembangunan. Pancasila dijadikan alat kontrol ideologi tunggal. Transformasi Pancasila dilakukan dengan menjadikannya satu-satunya asas organisasi melalui asas tunggal Pancasila (1985). Diperkuat melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) secara massal. Metode penyebaran Pancasila melalui sekolah: P4 diajarkan wajib di semua jenjang pendidikan. Sedangkan jalur Non-Sekolah: Penataran P4 bagi pegawai negeri, organisasi masyarakat, dan lembaga sosial.
Era Reformasi (1998–2014). Memasuki era demokratisasi, keterbukaan. Juga era kritik terhadap apa yang disebut sebagai “indoktrinasi masa Orde Baru”. Terdapat penurunan antusiasme terhadap Pancasila karena diasosiasikan dengan otoritarianisme Orde Baru. Sementara itu menyeruak munculnya beragam tantangan ideologis: liberalisme, radikalisme, dan pragmatisme.
Lambat laun Pancasila dirindukan. Mulai dibahas kembali secara kritis dan kontekstual di kalangan akademik dan masyarakat sipil. Metode penyebaran disekolah dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan menggantikan P4, dengan pendekatan yang dianggap lebih dialogis. Sedangkan non sekolah dilakukan melalui diskursus publik melalui LSM, seminar, dan media. Tidak sesistematis dan semasif era Orde Baru.