Scroll untuk baca artikel
LampungLingkungan Hidup

Harimau dan Misni: Ketika Belantara Menagih Haknya di Ladang Manusia

×

Harimau dan Misni: Ketika Belantara Menagih Haknya di Ladang Manusia

Sebarkan artikel ini
Foto: Seekor Harimau Sumatera berhasil masuk ke dalam kandang jebak yang dipasang di sejumlah titik di Pekon Rawas pada Senin 17 Februari 2025, (foto_dl)
Foto: Seekor Harimau Sumatera berhasil masuk ke dalam kandang jebak yang dipasang di sejumlah titik di Pekon Rawas pada Senin 17 Februari 2025, (foto_dl)

LAMPUNG BARAT – Pada Kamis petang, 10 Juli 2025, hutan memanggil satu nama. Misni (63), petani yang setia menyapa ladang sejak era Orde Baru, ditemukan tak bernyawa dengan luka-luka yang membuat bahkan polisi mengernyit.

Lokasi kejadian? Kawasan hutan Dusun Umbu Lima, di antara sunyi, semak, dan sejarah yang tak kunjung akur antara manusia dan harimau.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Misni tak pulang dari kebunnya di Pemangku 6 Pekon Sukabumi, Kecamatan Batubrak. Dan sayangnya, ia tidak sekadar tersesat.

Tubuhnya ditemukan bercak darah, luka cakaran, dan bekas gigitan yang menjadi tanda tangan alam bahwa kerajaan rimba belum benar-benar menyerah pada sawah dan kavlingan.

“Korban meninggal dunia dengan luka di bagian leher dan kaki, diduga kuat akibat terkaman harimau,” ujar Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol Yuni Iswandari Yuyun dengan nada resmi, tapi tak sanggup menyembunyikan getirnya kenyataan.

BACA JUGA :  Longsor, Putus Jalan Lintas Liwa-Krui

Bukan sekali dua kali warga mendengar suara gemerisik dan gelegar geraman di balik pepohonan. Tapi, seperti biasa, miskin sinyal bukan hanya soal internet, tapi juga soal insting bertahan hidup.

Dan ketika harimau benar-benar datang, yang tersisa hanyalah tubuh renta dan keluarga yang menolak otopsi.

“Bukan tidak ingin tahu, tapi mungkin sudah terlalu tahu,” komentar seorang warga yang ikut menggali liang lahat, memilih menyerahkan ‘perkara’ ini pada Tuhan dan petugas berwenang dalam urutan tersebut.

Zona kejadian adalah kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) alias wilayah abu-abu antara kehidupan liar dan penebangan liar. Di tempat seperti ini, harimau tak punya Google Maps untuk tahu mana kebun, mana taman nasional.

BACA JUGA :  Pemkab Lamsel Klaim Perbaikan Jalan Desa Ruguk Dalam Proses Tender

Tim gabungan dari Polsek Sekincau, Inafis, Koramil, dan petugas TNBBS datang ke lokasi. Misi, menyelidiki, mengamankan, dan semoga tidak sekadar berfoto di spanduk “Save Harimau Sumatera”.

“Kami akan koordinasikan dengan BKSDA dan pihak TNBBS,” ujar Kombes Yuni, sembari mengingatkan bahwa warga sebaiknya tidak panik, tapi juga jangan coba-coba menggelar aksi balas dendam ala Tarzan lokal.

Kematian Misni mengangkat isu yang terlalu lama dianggap “urusan kehutanan” padahal sudah lama menjadi urusan kemanusiaan. Konflik ini tak ubahnya rebutan kontrakan antara penghuni lama yang marah dan pendatang yang lapar.

Ladang semakin luas, hutan semakin sempit. Tapi kita lebih sibuk bicara soal infrastruktur, ekspor sawit, dan “pariwisata berkelanjutan”, sementara penghuni asli hutan malah jadi headline kriminal jika lapar dan mencari makan.

BACA JUGA :  Lahan TNBBS di Lambar Terbakar

“Konflik satwa liar adalah sinyal bahaya, bukan karena harimau makin ganas, tapi karena manusia makin serakah,” komentar seorang pemerhati lingkungan yang sudah lelah memberi seminar, tapi jarang didengar.

Dengan patroli kini diperketat, dan warga diimbau tak bertindak gegabah, pemerintah seakan berkata, “Tenang, kami akan tangani”. Tapi publik tahu, pertemuan antara manusia dan harimau akan terus terjadi, selama kita membiarkan rimba dikavling tanpa jeda.

Kisah Misni adalah tragedi sekaligus metafora: bahwa tanpa batas yang tegas antara ladang dan hutan, nyawa bisa jadi tumbal dari ketidakjelasan kebijakan.

Ia hanya seekor makhluk purba yang mencoba tetap hidup di antara tumpukan sertifikat dan peta proyek.***