Scroll untuk baca artikel
BudayaNasional

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Terima Gelar Adat “Ingatan Budi” dari LAM Riau

×

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Terima Gelar Adat “Ingatan Budi” dari LAM Riau

Sebarkan artikel ini
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Terima Gelar Adat "Ingatan Budi" dari LAM Riau: Simbol Nilai, Bukan Sekadar Gelar, Sabtu 12 Juli 2025 - foto doc

PEKANBARU — Arus zaman yang cepat dan gaduh, budaya tetap menemukan jalannya untuk bicara melalui simbol. Kali ini, suara budaya itu datang dari jantung adat Melayu di Riau, ketika Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menganugerahkan gelar adat kehormatan “Ingatan Budi” kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Gelar tersebut disematkan dalam sebuah upacara adat di Balairung Tenas Effendy, Balai Adat LAMR, Kota Pekanbaru, Sabtu (12/7/2025), di hadapan tokoh masyarakat, pejabat daerah, dan pemangku adat.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Turut hadir Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan dan Gubernur Riau Abdul Wahid, mendampingi Kapolri dalam balutan suasana budaya yang menjunjung tinggi kehormatan dan warisan nilai.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian LAMR, Datuk Seri H. Taufik Ikram Jamil, menjelaskan bahwa gelar “Ingatan Budi” bukanlah simbol kosong, melainkan bentuk pengakuan nilai.

Dalam khazanah Melayu, jelasnya, budi adalah pusat moralitas dan keluhuran, meliputi akhlak, empati, penghargaan, hingga tutur yang santun dan perilaku yang terpuji.

BACA JUGA :  Presiden Sebut Produk Perikanan Indonesia Masih Menjanjikan di Pasar Dunia

“Budi adalah sesuatu yang tak kasat mata tapi berdampak panjang. Dalam adat Melayu, orang yang berbudi akan dikenang, bukan karena jabatannya, melainkan karena kehalusan perilakunya,” jelas Taufik.

Ia juga menukil pepatah Melayu yang dalam: “Hutang emas dibayar emas, hutang budi dibawa mati.” Sebuah pengingat bahwa kebaikan bukan untuk dibalas dengan pujian, melainkan diwariskan melalui ingatan kolektif.

Penganugerahan ini tidak datang tiba-tiba. LAMR menilai bahwa selama kepemimpinannya, Jenderal Listyo Sigit telah menunjukkan kepemimpinan yang selaras dengan nilai-nilai kemelayuan, antara lain:

Pendekatan humanis dan responsif dalam kerja-kerja kepolisian, menciptakan suasana yang lebih dekat antara aparat dan rakyat.

Penegakan hukum yang tegas namun adil, yang menyentuh lapisan luar dan dalam institusi secara seimbang sebuah prinsip yang disebut LAMR sebagai “keseimbangan budi dan kuasa”.

Perhatian besar terhadap penanggulangan bencana, khususnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang kerap melanda Riau. Kapolri dianggap aktif mengerahkan sumber daya Polri hingga ke tingkat Polres dalam penanganan bencana tersebut.

BACA JUGA :  Menteri Hadi Tjahjanto: Lapor Jika Ada Pungli Sertifikat Tanah, Saya Akan Buktikan

Keberhasilan pendekatan persuasif dalam deradikalisasi, dengan ribuan mantan pelaku ekstremisme kembali menyatu dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—termasuk dari wilayah Riau sendiri.

Upacara pemberian gelar adat diawali dengan doa, diiringi pembacaan syair adat oleh Puan Siska Armizka, yang menggambarkan kinerja dan citra Kapolri sebagai pemimpin yang membela keadilan dan mengayomi rakyat.

Dalam struktur adat Melayu, momen ini disebut sebagai prosesi pengakuan moral dan kultural, di mana seorang tokoh nasional diberi tempat dalam ruang batin masyarakat adat, bukan semata karena jabatan, tapi karena jejak budi yang dirasakan masyarakat.

Kapolri duduk di peterakna, sebuah posisi simbolik dalam upacara adat yang melambangkan kesiapan menerima amanat dan nilai.

Di situ, penghulu adat tak hanya menyerahkan gelar, tetapi juga menanamkan harapan, bahkan pengawasan kultural, bahwa gelar bukan hanya untuk hari ini, melainkan untuk dipertanggungjawabkan seumur hidup.

BACA JUGA :  May Day 2025, Presiden Prabowo Beri Kado Istimewa Ini ke Buruh Indonesia

Pihak LAMR menegaskan bahwa gelar “Ingatan Budi” bersifat seumur hidup. Artinya, penerima akan terus membawa identitas budaya tersebut di manapun berada. Dalam adat, gelar bukan sekadar penghargaan, tetapi ikatan nilai yang harus dijaga oleh perilaku dan keputusan sehari-hari.

Bagi masyarakat adat, gelar adalah cermin bukan mahkota. Ia mengingatkan, bukan memuliakan. Ia menjadi penuntun, bukan alat pencitraan.

Pemberian gelar adat kepada Kapolri adalah salah satu bentuk peran aktif budaya dalam mengarahkan arah kepemimpinan bangsa.

Dalam masyarakat yang semakin rasional dan digital, nilai-nilai kultural seperti “budi” tetap relevan sebagai pelita moral yang tak bisa digantikan oleh algoritma.

LAMR, melalui gelar ini, menyampaikan pesan penting bahwa nilai tetap lebih tinggi dari jabatan. Bahwa kekuasaan tanpa budi adalah kekosongan. Dan bahwa orang besar adalah ia yang tidak lupa bersikap kecil di hadapan rakyat.***