Scroll untuk baca artikel
Zona Bekasi

Nelayan Pantai Mekar “Lepas Jangkar”: Tuntut Kades Dahlan dan APBDesa yang ‘Menghilang’

×

Nelayan Pantai Mekar “Lepas Jangkar”: Tuntut Kades Dahlan dan APBDesa yang ‘Menghilang’

Sebarkan artikel ini
Foto: Bupati Kabupaten Bekasi, Ade Kuswara

BEKASI — Ombak tuntutan mulai menghempas keras Pantai Mekar. Puluhan nelayan, yang selama ini mengandalkan hidup dari laut, kini harus menambatkan perahu mereka bukan ke dermaga, melainkan ke kantor desa dan kecamatan.

Mereka bukan mau bertanya soal cuaca, tapi soal APBDesa yang hilang entah ke mana arahnya, dari tahun 2020 hingga 2024.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“Kami ini nelayan, bukan penyihir. Nggak bisa baca ke mana anggaran desa mengalir kalau datanya saja seperti hantu ada tapi tak terlihat,” sindir Dagul, salah satu perwakilan warga.

Aksi unjuk rasa yang digelar pada Kamis, 10 Juli 2025, bukan sekadar unjuk gigi. Mereka mempertanyakan janji dan realisasi bantuan yang katanya diperuntukkan bagi nelayan. Sayangnya, jangankan perahu baru, jangkar pun belum pernah kelihatan.

BACA JUGA :  Panca Sila, hidup atau Mati?

“Bantuan alat tangkap? Yang ketangkap justru kami, oleh harapan palsu,” lanjut Dagul, disambut gelak tawa penuh kekecewaan dari warga lain.

Tak hanya soal anggaran, figur Kepala Desa Dahlan juga turut disorot. “Pak Kades kami lebih sering menghilang daripada nelayan pas badai. Kami susah lihat batang hidungnya, apalagi batang bantuan,” celetuk warga lainnya.

Merespons gonjang-ganjing yang sudah lebih panas dari air laut di Muara Gembong, Bupati Bekasi, Ade Kuswara, akhirnya angkat bicara. Ia menyatakan akan memanggil Kades Dahlan dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) untuk “audensi”.

“Sebagai kepala daerah, kita jadi penengah. Jadi wasit lah,” ujar Ade kepada wartawan usai menghadiri acara serah terima aset air bersih di Kota Bekasi pada Selasa 22 Juli 2025.

BACA JUGA :  Tak Terima Anak Perempuannya Diperalat, Ayah di Bekasi Lapor Polisi

Namun, Ade mengakui bahwa pemanggilan belum dilakukan karena ia “belum tahu pasti duduk persoalannya.” Mungkin karena persoalannya tak duduk, tapi tenggelam.

Isu dugaan penyelewengan anggaran desa sudah lama jadi desas-desus di tengah warga. Tapi karena yang bersuara cuma ombak dan warga jarang dianggap, isu itu lebih sering tenggelam daripada ditanggapi.

Padahal dana desa bukan hasil pancingan, tapi bersumber dari APBN, yang artinya: dari keringat rakyat juga. Warga berharap pengelolaan dana itu tidak seperti mancing cumi di malam hari gelap, senyap, dan tak jelas hasilnya.

Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, melainkan teriakan dari masyarakat yang sudah bosan dianggap “ikan kecil” dalam sistem pemerintahan desa. Mereka menuntut satu hal sederhana, keterbukaan. Tapi ternyata, di beberapa tempat, transparansi justru lebih langka dari ikan Napoleon.***