KUALA LUMPUR – Ribuan warga Malaysia turun ke jalan. Bukan untuk karnaval, bukan pula karena konser gratis Sheila Majid, tapi karena dompet mereka kian tipis sementara janji reformasi PM Anwar Ibrahim makin tipis juga, pada Sabtu 26 Juli 2025.
Sejak dilantik pada 2022, Anwar memang rajin keliling dunia. Katanya sih, “menjemput investasi.” Tapi menurut demonstran bernama Fauzi Mahmud asal Selangor, yang dijemput baru angin segar itu pun cuma di pidato.
“Dia dah pergi banyak negara. Tapi hasilnya, kami masih makan Maggi goreng tiga kali sehari,” keluh Fauzi, seperti dikutip dari AFP, Minggu (27/7/2025).
Berdasarkan data Departemen Statistik Malaysia (DoSM), biaya hidup layak sekarang mencapai RM 4.729 atau Rp 17,9 juta per bulan. Itu angka untuk hidup “layak” bukan “layaknya sultan.”
- Di kota: RM 5.040 (Rp 19,1 juta)
- Di desa: RM 3.631 (Rp 13,8 juta)
- Di Selangor: RM 5.854 (Rp 22,2 juta) – mirip harga cicilan mobil, bukan cicilan hidup.
Sementara itu, upah minimum nasional baru: RM 1.700 atau sekitar Rp 6,4 juta. Artinya, sebagian rakyat Malaysia kini resmi masuk ke kategori: “Bekerja keras hanya untuk bertahan miskin.”
Anwar Ibrahim, dalam gaya khas “pemimpin bijak bersuara berat,” akhirnya mengumumkan bantuan tunai satu kali senilai RM 100 (sekitar Rp 380.000) per orang dewasa.
Sebagai catatan: ini bahkan tidak cukup untuk mengisi full tank mobil Myvi.
Kebijakan lainnya:
- Pajak naik
- Tarif listrik naik
- Ekspektasi rakyat? Turun drastis
Anwar berdalih, “pajak untuk si kaya, bukan si papa.” Tapi faktanya, saat harga kebutuhan pokok naik, yang kenyang justru distributor, bukan dapur rakyat.
Menurut Reuters, ekonomi Malaysia tumbuh 4,4% di kuartal I 2025. Lebih rendah dari kuartal akhir 2024 yang sempat menyentuh 4,9%.
Pemerintah menyalahkan kondisi global. Tapi rakyat justru menyalahkan kondisi dapur yang makin kosong.
Sementara itu, bank sentral memperkirakan pertumbuhan 2025 masih dalam bayang-bayang awan gelap, perang dagang, investasi mandek, dan kebijakan yang lebih banyak bicara ketimbang kerja.
Unjuk rasa di Kuala Lumpur pada Sabtu kemarin membawa pesan yang jelas: “Bukan cuma ingin reformasi, kami ingin realisasi.”
Tapi bagi banyak warga, setiap langkah protes hanya berhadapan dengan pidato dan rencana jangka panjang yang tidak pernah tiba.
Kini, satu-satunya yang cepat di Malaysia mungkin cuma waktu menunggu tagihan listrik, bukan perubahan sistem.***