LAMPUNG TIMUR — Gunung Sugih Besar, Kecamatan Sekampung Udik, kini menjelma menjadi kampung horor. Bukan karena sinyal televisi yang buruk atau listrik yang byar-pet, tapi karena satu hal yang jauh lebih mengganggu, lalat.
Di desa ini, nonton TV pun kini jadi kegiatan berisiko tinggi. Ngopi harus pakai tudung saji. Makanan harus cepat-cepat ditutup. Bahkan, ketika sedang masak sambal, warga harus bersiap dilirik tajam oleh pasukan bersayap yang lapar itu.
“Kami di sini sudah seperti hidup di film zombie. Bedanya, yang menyerbu bukan mayat hidup, tapi lalat hidup,” ujar Jay, warga setempat, dengan nada frustasi namun masih mencoba waras saat di konfirmasi Wawai News, Rabu 30 Juli 2025.
Menurut warga, wabah lalat ini mulai menjadi “tradisi” tahunan sejak hadirnya perusahaan peternakan ayam petelur milik PT Central Avian Pertiwi (CAP). Sejak awal produksi, gangguan lalat sudah terasa. Populasi mereka sudah seperti organisasi preman terorganisir, berkerumun, mengintimidasi, dan tak takut siapa pun.
Lebih menyakitkan, ketika warga mengadu, aparat desa malah seperti lalat juga diam, hinggap, lalu menghilang.
“Kami curiga ada yang dapat setoran mingguan atau bulanan. Padahal keluhan sudah terbuka di media sosial, tapi semua tiba-tiba jadi budeg, dengan kondisi hama lalat yang meresahkan ini,” kata seorang warga sambil mengibas-ngibaskan sapu lidi ke udara.
Parahnya lagi, dulu beberapa warga pernah diminta menghapus unggahan keluhan di media sosial, saat mengunggah terkait lalat.
“Biasanya kalau kami posting, nggak lama ada yang japri. Suruhan siapa, ya bisa ditebak sendiri lah,” ujar seorang warga sambil tertawa pahit.
Respons Lamban, Lalat Keburu Naik Kasta
Di tengah keluhan warga, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Lampung akhirnya bersuara. Tapi jawaban yang muncul lebih terdengar seperti lempar bola.
“Sudah kami teruskan ke DLH Lampung Timur ya, karena itu kewenangan mereka,” kata Yulia, perwakilan DLH Provinsi.
Yulia juga meminta bukti foto dan video. Mendengar itu, warga nyeletuk, “Kalau bisa sekalian video wawancara eksklusif dengan para lalat.”
Tahun lalu, DLH Provinsi memang sempat datang. Tapi saat itu, peternakan belum beroperasi penuh. Lalat-lalat masih pendiam, introvert. Sekarang? Mereka sudah agresif, ekstrovert, bahkan bisa menyerbu siapa pun yang makan gorengan tanpa pengaman.
“Kami bukan cuma terganggu. Ini sudah duka berjamaah. Kami seperti hidup di kandang ayam. Padahal yang punya ayam bukan kami!” lanjut Ketua RT.
Warga tak lagi hanya bicara soal ketidaknyamanan, tapi soal kesehatan, martabat, dan hak hidup layak. Karena lalat bukan cuma pengganggu, mereka bisa jadi penyebar penyakit mematikan.
Lalat dapat membawa berbagai penyakit:
Semua itu bisa terjadi lewat makanan, air, atau permukaan yang terkontaminasi feses atau bahan pembawa patogen lainnya.
Kini warga hanya bisa menunggu atau lebih tepatnya, menghindar dari lalat sambil menunggu. Harapannya, DLH Lampung Timur benar-benar turun tangan, bukan sekadar turun ke lokasi lalu pulang tanpa solusi.
Karena di Gunung Sugih Besar, minum kopi tanpa topping lalat sudah jadi cita-cita sederhana.
Tak berlebihan jika kelak di gerbang desa dipasang tulisan:
“Selamat Datang di Gunung Sugih Besar. Kampung yang Tak Pernah Sepi dari Suara… Bzzzzz!”
Lalat di sini bukan lagi sekadar serangga pengganggu. Mereka sudah naik kasta jadi warga tetap yang tak pernah absen setiap musim.
Sudah saatnya warga berani bicara benar. Sudah saatnya pihak-pihak terkait mengatasi akar persoalan. Karena kalau dibiarkan terus, mungkin tinggal menunggu waktu sebelum lalat-lalat itu bikin orkestra dan menggantikan suara azan.
Jaylani pun mengatakan bahwa tidak melarang usaha apapun. Tapi, tolong perhatikan lingkungan, jangan sampai warga terganggu. PT dapat cuan, warga kebagian hama. ***