BEKASI – Ratusan hektar sawah di wilayah utara Kabupaten Bekasi kini seperti eks-pasangan toxic: kering, retak, dan ditinggalkan. Musim kemarau datang lagi, tapi yang tidak datang-datang adalah solusi dari pemerintah.
Petani dari lima desa di tiga kecamatan Sukawangi, Cabang Bungin, dan Muara Gembong mulai stres bukan karena harga pupuk naik, tapi karena air irigasi yang malah cuti panjang.
Wilayah seperti Sukaringin, Jaya Bhakti, Pantai Harapan Jaya, Sukakerta, hingga Sukabudi kini menjadi ‘Pantai Tanpa Laut’, alias sawah tanpa air.
“Setiap tahun begini, tapi pemerintah tetap pura-pura enggak tahu. Mungkin nunggu sawahnya ganti jadi lahan parkir dulu baru mau turun tangan,” keluh seorang petani sambil melirik langit, berharap hujan atau minimal akal sehat dari pemangku kebijakan.
Di sisi lain, aktivis lingkungan Mang Oye mengungkapkan fakta yang lebih getir. Meski katanya ada “normalisasi kali”, tapi debit air Kali Cikarang malah ngambek, tidak sampai ke wilayah utara.
“Hampir 500 hektar lahan kekeringan! Ini laporan dari Ustaz Jejen, kordinator PSH. Debit air dari Kali CBL dan Pintu 0 BSH sekarang kayak janji-janji kampanye, kecil dan penuh harapan palsu,” kata Mang Oye, Kamis, 7 Agustus 2025.
Seolah belum cukup, kali yang kering malah dapat hadiah kejutan dari industri, limbah busa tebal warna putih. Tepatnya di aliran Kali Cilemahabang, Kecamatan Cikarang Utara, air kali berubah jadi seperti latte gagal: penuh busa, tapi tidak bisa diminum.
Tebal busa disebut mencapai 50 cm dan membentang sepanjang 2 kilometer. Bukan efek sabun murah, tapi dugaan kuat berasal dari limbah industri yang dibuang tengah malam, saat semua orang tidur, kecuali CCTV rusak dan hati nurani mati.
“Setiap pagi, air kali jadi seperti cappuccino ala Cikarang. Tapi ini bukan Starbucks, ini Starbroke,” kata seorang warga yang tiap pagi menyaksikan busa mengambang tanpa malu.
Masalahnya bukan hanya soal estetika lingkungan yang rusak, tapi fungsi vital kali sebagai sumber irigasi petani, serta keperluan mandi dan cuci warga.
Ironisnya, aduan ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi sudah seperti spam WA ke mantan dibaca, tapi tak direspons.
“Kami sudah lapor, tapi kayaknya Dinas Lingkungan lebih takut sama perusahaan daripada busa yang bisa nyumbat kali. Mungkin busa dianggap lebih sopan daripada rakyat yang protes,” sindir warga.
Bekasi Butuh Air, Bukan Janji
Saat sawah menganga kering, petani menunggu bukan hanya hujan dari langit, tapi juga kesadaran dari kantor dinas dan pejabat-pejabat yang AC-nya nyala terus. Karena di Bekasi, air sudah jadi barang mewah, dan busa jadi pemandangan lazim.
Sementara itu, pemerintah masih sibuk menyusun “rencana strategis” yang tampaknya secepat siput yang tersesat di padang pasir. Hingga kini, air tidak datang, solusi tidak turun, dan janji tinggal headline.
Kali ini, rakyat tidak hanya butuh tangan dingin, tapi juga otak yang dingin dan hati yang tidak beku, agar sawah bisa kembali panen, dan kali tidak lagi jadi saluran uji coba deterjen industri.***