JAKARTA – Di Pulau Sabira, nelayan selama ini kalau mau perbaiki kapal harus siap berpergian jauh. Biayanya? Lumayan bikin kantong bolong, karena bengkel terdekat ada di pulau lain. Tapi kini datang secercah harapan atau minimal lampu sorot PR dari PHE OSES, pengelola wilayah kerja migas di Laut Jawa.
Sejak Desember 2024, mereka menghadirkan fasilitas bengkel docking kapal. Isinya lengkap mesin bor, mesin gerinda, mesin las. Bahkan dibuatkan pondok khusus untuk menyimpan peralatan, supaya tak berkarat termakan angin laut.
“PHE OSES membangun pondok untuk kami, jadi alatnya aman dan kapan pun bisa dipakai,” kata Sugianto, nelayan setempat, yang suaranya mungkin mewakili rasa lega sekaligus rasa heran—kenapa baru sekarang?
Sistemnya “sosial ekonomi berkelanjutan”: nelayan yang mau pakai peralatan bisa sewa dengan biaya murah. Uang sewa itu dipakai untuk perawatan alat dan mendukung kelompok nelayan lain. Bahasa kerennya: self-sustaining ecosystem. Bahasa nelayannya: “Akhirnya nggak perlu ngutang cuma buat las body kapal.”
Menurut Indra Dermawan, Head of Communication Relations & CID PHE OSES, program ini bukti perusahaan peduli, paham tantangan nelayan di pulau-pulau kecil.
“Kami hadir bukan cuma kasih alat, tapi juga mendorong pengelolaan berkelanjutan,” ujarnya.
Tentu ini kabar baik. Tapi di baliknya, kita juga tahu model bantuan seperti ini sering jadi menu wajib “CSR korporasi”, yang manis di press release, tapi kalau dihitung-hitung skalanya masih kalah sama biaya operasional meeting direksi di hotel bintang lima.
Apalagi Pulau Sabira itu titik terluar. Kadang terasa ironis: sumber daya alamnya disedot jauh di bawah laut, tapi buat bengkel las saja butuh menunggu satu dekade lebih setelah tambang migas beroperasi.
Perusahaan ingin disebut “mitra pembangunan”. Bagus. Tapi jangan lupa, mitra itu artinya sama-sama tumbuh, bukan satu pihak untung besar, pihak lain dapat mesin bor sebagai ganti pelampung bocor.
Nelayan di Sabira tentu berterima kasih. Tapi mereka juga paham, “kemandirian” sejati lahir kalau akses ekonomi, logistik, dan pasar dibuka lebar. Bukan sekadar bengkel docking, tapi juga jalur distribusi, bahan bakar terjangkau, dan perlindungan harga hasil tangkap.
Untuk saat ini, ya, bengkel ini jelas bermanfaat. Tapi jangan sampai ini jadi pengganti kewajiban yang lebih besar. Karena nelayan itu butuh laut yang lestari, harga yang adil, dan akses yang mudah bukan cuma kunci inggris dan mesin las di pojokan pulau.
Kalau tidak, program seperti ini cuma akan menjadi cat pelapis citra, yang mengilap di media, tapi tipis kalau dilihat dari dekat.***