JAKARTA – Di negeri ini, hanya segelintir orang yang bisa “mengoleksi” vonis penjara 1,5 tahun, tapi tetap bebas menghirup udara segar seperti Silfester Matutina. Warga biasa? Jangan harap telat bayar denda parkir saja bisa langsung ditindak.
Silfester, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), menjadi terpidana kasus penyebaran fitnah terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pada 2017. Perjalanan hukumnya cukup panjang:
- Pengadilan tingkat pertama: divonis 1 tahun.
- Kasasi 2019: hukuman diperberat jadi 1,5 tahun.
- Eksekusi 2025: Masih loading.
Bahkan Komisi Kejaksaan (Komjak) sudah turun tangan. Komisioner Nurokhman sampai mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) untuk menanyakan kabar eksekusi yang tak kunjung tiba.
“Kami mendorong terus, tapi mereka bilang masih proses. Ada alasannya, tapi rahasia. Katanya ranah strategi,” ujar Nurokhman, Kamis (14/8/2025).
Strategi apa yang dimaksud, tak dijelaskan. Mungkin strategi “menunggu sampai semua orang lupa” atau “menunggu vonis kedaluwarsa secara moral”.
Kejari Jaksel sendiri mengaku sudah tunjuk jaksa eksekutor, tapi belum menetapkan tanggal eksekusi. Ultimatum? Tidak ada. Hanya soft reminder ala WhatsApp grup arisan.
Menariknya, mantan Kajari Jaksel, Anang Supriatna yang pernah memegang perkara Silfester kini naik jabatan jadi Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung.
Anang punya penjelasan yang lumayan dramatis. Menurutnya, eksekusi sempat coba dilakukan pada 2019, tapi gagal karena terpidana “hilang”. Tak lama, pandemi Covid-19 datang. “Jangankan memasukkan orang ke penjara, yang di dalam aja harus dikeluarkan,” katanya.
Anang juga menegaskan sudah mengeluarkan surat perintah eksekusi, sambil membantah adanya tekanan politik.
Kini, alasan baru pun muncul: Silfester mengajukan peninjauan kembali (PK) pada 5 Agustus 2025, dan sidang PK dijadwalkan pada 20 Agustus 2025.
Artinya, sejak 2019 hingga 2025, perjalanan hukuman Silfester bisa dibilang sukses mengalahkan usia pemerintahan Jokowi periode kedua.
Kasus ini memberi pelajaran unik: di Indonesia, hukum itu setara tapi yang VIP punya fasilitas “eksekusi fleksibel” lengkap dengan fitur snooze.***