Scroll untuk baca artikel
Lampung

LBH Bandar Lampung: Warga Anak Tuha Butuh Keadilan, Bukan Tuduhan

×

LBH Bandar Lampung: Warga Anak Tuha Butuh Keadilan, Bukan Tuduhan

Sebarkan artikel ini
Foto: Ratusan masyarakat dari tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, nekat menanam berbagai jenis tanaman di lahan milik PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) pada momentum 17 Agustus 2025. - foto doc

BANDAR LAMPUNG – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) LBH Bandar Lampung menegaskan, narasi aparat yang menyebut adanya “oknum provokator” dalam aksi warga Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah, hanyalah strategi klasik untuk melemahkan perjuangan rakyat.

Kepala Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, menilai pernyataan Kapolres Lampung Tengah bahwa pihaknya telah “mengantongi nama-nama provokator” dalam aksi penanaman warga di lahan konflik PT BSA, jelas-jelas sebuah pengalihan isu.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“Ini bentuk nyata negara gagal fokus. Alih-alih menyelesaikan konflik agraria puluhan tahun yang merampas ruang hidup petani, aparat justru sibuk memberi label ‘provokator’ seolah-olah rakyat itu boneka yang ditunggangi segelintir orang,” tegas Prabowo.

LBH menilai aksi tanam pohon dan panen simbolis yang dilakukan tiga kampung di Anak Tuha saat HUT RI bukanlah tindak pidana, melainkan ekspresi rakyat untuk merebut kembali ruang hidup. Tapi, bukannya dilihat sebagai perlawanan yang sah, masyarakat malah dituduh sebagai korban agitasi pihak luar.

“Ini resep lama negara: kalau rakyat menuntut haknya, segera cari kambing hitam bernama ‘provokator’. Padahal provokator yang sesungguhnya justru rakusnya modal dan lemahnya negara dalam melindungi warganya,” lanjutnya.

LBH juga menyoroti kejanggalan luar biasa: laporan PT BSA diproses kilat bahkan sebelum tinta laporan kering, status sudah naik ke penyidikan.

Dalam waktu kurang dari 24 jam setelah aksi warga, 8 orang langsung mendapat surat panggilan sebagai saksi. Bandingkan dengan puluhan laporan warga miskin yang bertahun-tahun ngendon di meja penyidik tanpa kepastian hukum.

“Kalau untuk perusahaan, hukum pakai mode turbo. Kalau untuk rakyat, hukum pakai mode hemat energi. Bahkan saking buru-burunya, aparat sampai salah tulis pasal. Bayangkan, bikin kopi saja butuh waktu, tapi bikin penyidikan kok bisa sekilat itu?” sindir Prabowo.

Prabowo mengingatkan, konflik Anak Tuha bukanlah perkara pidana, melainkan konflik struktural agraria. Rakyat hanya menanam di tanah yang mereka yakini sebagai warisan nenek moyang.

“Mereka tidak mencuri, tidak merampok. Mereka hanya menanam, sementara perusahaan merampas. Ironis kalau yang menanam dianggap kriminal, tapi yang merampas justru dilindungi,” katanya.

Ia menilai, tuduhan provokator hanyalah cara aparat menghindari dialog. “Stigma itu berbahaya. Ia membungkam solidaritas, mengasingkan rakyat dari kebenarannya, dan membuka jalan bagi represi.”

LBH juga mempertanyakan logika hukum aparat. Jika aksi warga itu pidana, mengapa ratusan orang yang hadir saat itu tidak langsung ditangkap di tempat?

“Lucu, kan. Kalau memang kriminal, harusnya langsung tangkap basah. Tapi tidak. Malah diproses pakai jalur cepat setelah perusahaan lapor. Jadi jelas, ini bukan soal hukum, tapi soal siapa yang lebih kuat di telinga aparat: suara rakyat atau suara modal,” sindirnya.

LBH Bandar Lampung menegaskan, aparat seharusnya hadir sebagai penengah, bukan sebagai pengawal kepentingan korporasi. Konflik agraria Anak Tuha menuntut penyelesaian lewat dialog berkeadilan, bukan kriminalisasi.

“Negara jangan kalah dengan modal. Jangan sampai polisi lebih terlihat sebagai satpam perusahaan daripada pengayom rakyat. Kalau rakyat kecil melapor, jawabannya ‘akan dipelajari’. Kalau perusahaan melapor, jawabannya ‘sudah kami tindaklanjuti’. Hukum jadi timpang, rakyat makin sengsara,” tutup Prabowo.***

SHARE DISINI!