JAKARTA – Pemindahan jabatan Kepala SMP Negeri 1 Prabumulih akhirnya sampai ke meja Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Dalam Negeri. Wali Kota Prabumulih, Arlan, resmi diperiksa dan hasilnya cukup mencoreng wajah birokrasi, mutasi yang dilakukan ternyata tidak sesuai aturan main.
Irjen Kemendagri, Sang Made Mahendra Jaya, dengan wajah tanpa ekspresi menegaskan, pencopotan Roni Adriansyah selaku kepala sekolah melanggar Pasal 28 Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025. “Pemindahan jabatan tidak lewat aplikasi resmi SIM KSP-SPK. Jadi ya jelas menyalahi prosedur,” katanya di Jakarta, Kamis (18/9/2025).
Bahasa kasarnya, pemindahan kepala sekolah ini bukan lewat jalur resmi, tapi jalur by feeling.
Atas temuan ini, Itjen Kemendagri menyarankan Mendagri Tito Karnavian untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis kepada sang wali kota. Bukan pecat, bukan skors, cukup teguran, karena katanya ini baru “kesalahan pertama”. Seperti murid bandel yang baru ketahuan bolos sekali, cukup ditegur dulu.
“Mulai dari teguran tertulis. Kalau mengulang, baru teguran kedua. Sanksi itu bertingkat,” ujar Sang Made.
Dari Chat Mesum, Parkir, sampai Hujan
Kasus ini makin seru ketika muncul versi klarifikasi dari Dinas Pendidikan Prabumulih. Kepala Dinas, A Darmadi, buru-buru meluruskan isu liar bahwa Roni dicopot karena “menegur anak wali kota”. Menurutnya, ada tiga kasus yang jadi dasar mutasi:
- Kasus chat mesum viral yang menyeret guru SMP (meski tak langsung terkait sang kepala sekolah, tapi entah bagaimana ikut dicatat di rapor).
- Drama parkir berbayar yang sempat bikin heboh: “anak sekolah jangan dipungut parkir,” kata Darmadi.
- Insiden paling epik: anak wali kota kehujanan gara-gara dilarang parkir di dalam sekolah. Hujan deras, jas hujan lupa, payung entah di mana — kepala sekolah pun jadi tumbal.
Publik pun terbagi dua kubu. Ada yang melihat alasan-alasan ini sebagai ngeles level dewa, ada juga yang menilai ini bukti betapa sensitifnya dunia pendidikan kita: dari chat mesum sampai hujan bisa jadi alasan reshuffle.
Kepala Sekolah Korban “Politik Cuaca”?
Kasus ini akhirnya jadi bahan guyonan warga Prabumulih. “Kalau hujan, siap-siap saja bisa ada mutasi,” canda seorang warga di warung kopi. Yang lain menimpali, “Besok jangan-jangan guru dicopot cuma gara-gara anak pejabat sepatunya kena becek.”
Di balik satirnya, kasus ini menyingkap wajah nyata birokrasi daerah: aturan sering kalah oleh emosi, dan prosedur bisa dikalahkan oleh rasa “tidak enak hati” kepada penguasa lokal.
Kini, publik menanti langkah Mendagri. Apakah teguran tertulis cukup jadi obat, atau jangan-jangan ini hanya permulaan dari daftar panjang “politik hujan” di birokrasi daerah?