TANGGAMUS – Kebijakan kerja sama media di Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Tanggamus sedang jadi buah bibir. Alih-alih memperkuat media lokal, justru dinilai membuka karpet merah bagi media “turis” dari luar daerah.
Ketua PWRI Tanggamus, Warman, melontarkan kritik tajam yang setajam silet. Menurutnya, Kominfo seperti kehilangan arah, anggaran publikasi yang seharusnya jadi vitamin untuk pers lokal malah lebih banyak tersedot oleh media yang wartawannya tak pernah nongkrong di Tanggamus.
“Pemerintah daerah seharusnya memberdayakan wartawan lokal. Kalau medianya memang berdomisili di Tanggamus, ya itu yang diprioritaskan. Bukan malah kasih panggung buat media dari luar, yang wartawannya saja entah ada entah tidak di sini,” tegas Warman dengan nada geram.
Anggaran Publikasi: Ada DPA, Duitnya Hilang Entah ke Mana
Warman bahkan menyindir keras soal serapan anggaran. Tahun 2025 disebut tidak maksimal, sementara tahun 2024 malah lebih konyol: DPA ada, duitnya tak kunjung turun.
“Jadi jangan heran kalau banyak advertorial yang tidak terbayar. Anggarannya ada di kertas, tapi cairnya cuma di angan-angan,” sindirnya.
Media Luar Daerah Jadi Raja, Wartawan Lokal Jadi Penonton
Hal senada disampaikan Hanafi, wartawan online biro Tanggamus. Ia mengaku sering menemui wartawan “impor” saat proses verifikasi kerja sama.
“Kemarin saya ketemu wartawan dari Bandar Lampung. Mereka terang-terangan bilang medianya memang nggak punya wartawan di Tanggamus. Katanya nggak masalah, yang penting media mereka sudah kerja sama. Urusan biro, nanti bisa dicari belakangan,” ujar Hanafi dengan nada setengah heran setengah geli.
Ibaratnya, media luar daerah datang seperti tamu undangan ke pesta kawinan: makan dulu, baru cari tahu siapa yang punya hajat. Sementara tuan rumah wartawan lokal malah hanya disuruh jaga parkiran.
Fenomena ini mempertegas dugaan bahwa Kominfo Tanggamus terlalu longgar, bahkan terkesan “tutup mata” terhadap aturan yang seharusnya melindungi insan pers lokal.
“Kalau begini terus, wartawan Tanggamus cuma jadi penonton di rumah sendiri. Sudah beli karcis, duduknya di tribun paling belakang, tontonan diambil orang luar,” seloroh Hanafi.
Kritik pedas ini jelas jadi peringatan keras bagi Kepala Dinas Kominfo Tanggamus. Publikasi daerah bukan sekadar seremonial bagi media luar yang numpang lewat.
Anggaran miliaran rupiah itu harus menyentuh wartawan lokal yang setiap hari berkeringat di lapangan, bukan hanya wartawan “kardus” yang muncul saat tanda tangan kontrak.
Sederhananya: kalau masih ngotot abaikan media lokal, jangan salahkan kalau publik menilai Kominfo lebih sibuk memelihara tamu ketimbang mengurus anak sendiri.***