JAKARTA – Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri menyita uang tunai fantastis senilai Rp 204 miliar dari sindikat pembobol bank pelat merah.
Uang itu ditampilkan bak “tembok merah biru” dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Kamis (25/9/2025).
Tumpukan uang pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu itu dipajang rapi dalam plastik bening, berjejer di depan meja pejabat Polri bersama barang bukti digital.
Pemandangan itu mengingatkan pada film kartel narkoba bedanya ini bukan hasil transaksi gelap di hutan Amazon, tapi uang rakyat di rekening bank negara.
Dirtipideksus Bareskrim, Brigjen Helfi Assegaf, mengungkap sindikat ini beroperasi sejak Juni 2025 dengan modus licik: menyamar sebagai Satgas Perampasan Aset dari sebuah kementerian.
Dengan identitas palsu itu, mereka mendekati Kepala Cabang Pembantu (KCP) salah satu BNI di Jawa Barat.
Tujuan pertemuan sederhana tapi berbahaya: memaksa KCP menyerahkan user ID aplikasi Core Banking System milik teller dan kepala cabang. Jika menolak, ancamannya bukan main—nyawa KCP dan keluarganya jadi taruhan.
“Jaringan sindikat memaksa kepala cabang menyerahkan akses sistem perbankan. Kalau tidak, keselamatan kepala cabang dan keluarganya terancam,” ujar Helfi.
Akhirnya, kepala cabang pun menyerah, dan bersama sindikat meretas dana pada rekening dormant rekening tak aktif yang sering jadi celah kejahatan perbankan.
Barang Bukti, Dari Uang Cash Hingga Hard Disk
Polisi menyita barang bukti yang bikin kepala pusing sekaligus miris:
- Uang tunai Rp 204 miliar,
- 22 unit handphone,
- 1 hard disk eksternal,
- 2 DVR CCTV,
- 1 unit PC,
- dan 1 buah notebook.
Barang bukti itu menegaskan sindikat ini beroperasi dengan kombinasi gaya old school (ancaman fisik) dan high-tech (akses digital).
Total ada sembilan orang ditetapkan sebagai tersangka. Dua di antaranya berperan sebagai otak perencanaan, termasuk menyusun skenario ekstrem, menculik dan membunuh kepala cabang bank jika rencana perampokan digital gagal. Salah satu otak sindikat itu bernama Ilham Pradipta (37).
Kasus ini membuka kembali borok lama: lemahnya pengawasan sistem perbankan nasional dan masih rentannya aparat perbankan menghadapi teror sindikat kriminal.
Pertanyaan yang muncul, bagaimana mungkin user ID krusial bank negara bisa jatuh ke tangan mafia hanya karena ancaman intimidasi?
Publik boleh kagum dengan tumpukan uang Rp 204 miliar di meja Bareskrim, tapi masyarakat juga menunggu jawaban, berapa banyak rekening dormant lain yang bisa jadi “ATM berjalan” bagi sindikat berikutnya?.***