JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali unjuk taring. Kali ini, sebuah proyek reklamasi untuk pembangunan jetty (dermaga) seluas 2,231 hektare di pesisir Desa Ulusawa, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, terpaksa dipasung.
Alasannya? Pemiliknya, PT GMS, ketahuan “lupa” membawa dokumen sakti bernama Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Direktur Jenderal PSDKP, Pung Nugroho Saksono alias Ipunk, menegaskan pihaknya tak main-main.
“Ya jelas kami stop. Masa bangun jetty dulu, izin belakangan. Ibaratnya mau nikah, pesta sudah jalan, tapi KUA belum datang,” kata Ipunk di Jakarta, Jumat (26/9).
Menurut pengakuan PT GMS, jetty ini disiapkan untuk mendukung bisnis nikel. Tapi sayangnya, dokumen perizinan yang mestinya jadi tiket masuk, malah diabaikan.
“Kalau semua orang main bikin dermaga sendiri, bisa-bisa laut kita penuh seperti parkiran motor di pasar malam,” sindir Ipunk.
Kepala Pangkalan PSDKP Bitung, Kurniawan, menambahkan, ulah PT GMS terindikasi menabrak aturan super lengkap: mulai dari UU Cipta Kerja, PP Penataan Ruang, sampai Permen KKP soal sanksi administrasi. Singkatnya, bukan sekadar “salah kostum”, tapi “salah panggung”.
Langkah tegas ini sekaligus jadi bagian dari Bulan Bakti Kelautan Perikanan menuju HUT KKP ke-26. Jadi, kalau ada yang nekat main-main dengan ruang laut, siap-siap dapat kado berupa penghentian proyek—tanpa pita, tanpa ucapan selamat.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, sudah berkali-kali mewanti-wanti: pemerintah punya sistem perizinan berbasis risiko, bukan berbasis nekat. “Silakan cari nikel, tapi jangan nikelin aturan,” kurang lebih begitu pesannya.
Singkat kata, PT GMS harus segera berbenah. Kalau tidak, jetty yang megah itu bisa jadi hanya monumen “izin yang hilang”.***












