Scroll untuk baca artikel
Hukum & Kriminal

Cinta, Emosi, dan Gunting: Tragedi Rumah Tangga di Klapanunggal

×

Cinta, Emosi, dan Gunting: Tragedi Rumah Tangga di Klapanunggal

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi/net
Ilustrasi

BOGOR — Konflik rumah tangga berujung darah kembali terjadi. Seorang wanita berinisial M di Desa Nambo, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, menikam suami sirinya, N dengan menggunakan gunting.

Hal itu dipicupertengkaran panjang yang disulut hal sepele, video harimau makan manusia yang entah berada di mana video tersebut berada.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Peristiwa ini terjadi pada Sabtu (11/10/2025) malam, usai dua hari adu mulut tanpa jeda sejak Kamis. Berdasarkan keterangan Kapolsek Klapanunggal, IPTU Gayuh Agrisukma, konflik bermula dari ketegangan lewat sambungan telepon yang akhirnya meledak ketika keduanya bertemu di rumah kontrakan.

Awalnya, suasana masih terkendali. M sempat menyiapkan makanan, namun N memilih tidak menyentuhnya. Ketegangan meningkat saat N dengan santai memperlihatkan video berdurasi beberapa detik “harimau makan manusia” kepada anak mereka yang baru berusia dua tahun enam bulan.

Anak itu langsung muntah dan menangis ketakutan. Situasi berubah dari rumah tangga biasa menjadi adegan absurditas domestik anak trauma, ibu panik, ayah memancing emosi.

Ketika M sedang menenangkan anaknya, pintu rumah tanpa sengaja menimpa kepala sang anak. Dari situ, pertengkaran meningkat jadi bentrokan fisik. N memukul M menggunakan kayu dan pengki plastik, menyebabkan benjolan di kepala dan memar di tangan korban.

Dalam kondisi emosional dan refleks bertahan, M yang saat itu memegang gunting mengayunkannya tanpa arah namun tepat mengenai lengan kiri N.

Korban terjatuh bersimbah darah dan segera dilarikan ke RSIA Graha Kenari, Cileungsi untuk mendapat perawatan medis.

Polisi mengamankan lokasi kejadian dan barang bukti. Saat ini perkara ditangani Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Bogor.

“Dari keterangan awal, kejadian dipicu kemarahan dan kekerasan berulang dalam rumah tangga. Kami masih mendalami motif dan rekonstruksi lengkapnya,” ujar IPTU Gayuh Agrisukma.

Kasus ini menggambarkan bagaimana konflik emosional dalam relasi tanpa fondasi hukum yang jelas mudah berubah menjadi tindak pidana. Ketika komunikasi digantikan ego, dan perlindungan hukum tidak berpihak pada stabilitas keluarga, tragedi sering kali hanya menunggu momentum.

Mungkin, dalam konteks sosial yang lebih luas, kasus Klapanunggal bukan sekadar insiden “istri tikam suami.”

Ia adalah potret kecil retaknya kesehatan mental masyarakat menengah ke bawah, di mana stres ekonomi, ketimpangan relasi gender, dan pola kekerasan verbal menjadi bom waktu.***

SHARE DISINI!