LAMPUNG TIMUR — Ada yang menarik di Hotel Yestoya, Way Jepara. Pemerintah Kabupaten Lampung Timur tiba-tiba seperti tersadar dari tidur panjangnya. Melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), mereka menggelar Workshop Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) Tahun 2025, pasa Rabu (15/10/2025).
Temanya heroik, “Dengan Semangat BBGRM, Kita Lestarikan Nilai-nilai Gotong Royong Masyarakat untuk Menuju Lampung Timur Makmur.” Kalimatnya panjang, tapi maksudnya sederhana, “ayo kerja bareng, jangan nunggu bantuan turun dari pusat.”
Peserta acara juga tak main-main. Camat, ketua forum kepala desa, dan ketua DPC LPM se-Lampung Timur. Lengkap sudah. Tinggal rakyatnya yang belum sempat diundang, karena, yah… tempatnya di hotel.
Bupati Lampung Timur, Ela Siti Nuryamah, diwakili oleh Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Ahmad Zainuddin, tampil dengan pidato yang (jujur saja) terdengar seperti nostalgia masa kecil di kampung.
“Gotong royong adalah warisan budaya bangsa yang harus terus kita jaga. Pembangunan tak akan efektif tanpa partisipasi aktif masyarakat,” ucapnya mantap.
Kalimat itu, meski sering kita dengar, tetap menohok. Karena faktanya, gotong royong sekarang sering muncul hanya di baliho atau pidato resmi. Di lapangan? Lebih banyak “gotong royong by anggaran” daripada gotong royong suka rela.
Zainuddin pun melanjutkan dengan sedikit curhat halus. “Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, butuh kolaborasi masyarakat agar pembangunan berjalan optimal.”
Terjemahan bebasnya, “tolong, jangan semua hal diserahkan ke pemerintah.” Tapi sayangnya, sebagian masyarakat mungkin menjawab, “ya kalau pemerintahnya hadir di tengah masyarakat, kami juga semangat, Buk.”
Sementara itu, Plt Kepala Dinas PMD Lampung Timur, Muhammad Ridwan, mencoba membawa suasana ke arah yang lebih realistis.
“BBGRM bukan sekadar acara seremonial, tapi wadah untuk menggerakkan kembali peran aktif masyarakat,” katanya.
Pernyataan yang tepat sasaran karena publik memang sudah terlalu sering disuguhi acara berlabel “pemberdayaan masyarakat” yang lebih banyak memberdayakan panitia daripada rakyatnya.
Ridwan menegaskan semangat gotong royong harus hidup di semua lapisan, bukan hanya di musim lomba kebersihan antar-desa.
“Ini tanggung jawab kita bersama agar Lampung Timur makin makmur dan mandiri,” ujarnya.
Sayangnya, kata “makmur” belakangan ini sering terdengar seperti janji pranikah, indah di awal, tapi sering berujung tanya di tengah jalan.
Kegiatan BBGRM ini diharapkan mampu membangkitkan lagi budaya kerja bareng yang dulu jadi identitas masyarakat Lampung Timur sebelum tergantikan oleh budaya “kerja sesuai anggaran.”
Karena sejujurnya, jika gotong royong hanya berhenti di hotel ber-AC, sementara parit di desa tetap mampet dan jalan tetap bolong, maka yang kita rawat bukan semangat kebersamaan… tapi semangat seremonial. ***