Scroll untuk baca artikel
Hukum & Kriminal

Terapis Bernasib Tragis di Balik Gedung TIKI Jaksel, Ternyata Masih Dibawah Umur

×

Terapis Bernasib Tragis di Balik Gedung TIKI Jaksel, Ternyata Masih Dibawah Umur

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi
ilustrasi mayat

JAKARTA — Drama paling absurd pekan ini datang dari sudut sepi di belakang Gedung TIKI, Pejaten Barat. Di sanalah jasad seorang terapis ditemukan bukan sekadar korban nasib, tapi juga simbol dari betapa longgarnya batas antara dunia kerja, dunia maya, dan dunia nyata yang makin kejam.

Korban yang sempat dikenal dengan nama Siti Auliya Zanura Rifaatul Islam, ternyata bukanlah “Siti” dan jauh dari “Auliya.” Polisi mengungkap, nama itu hanyalah pinjaman dari KTP kerabatnya, sementara identitas asli korban adalah RTA, gadis 14 tahun yang seharusnya masih berkutat dengan PR, bukan pelanggan.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Kisah makin tragikomik saat polisi menemukan, rekrutmen spa tempat korban bekerja bermula dari siaran langsung TikTok. Ya, TikTok aplikasi yang konon untuk hiburan, tapi kali ini jadi jalan masuk menuju tragedi.

“Korban melihat live TikTok temannya yang bekerja di spa, lalu datang interview membawa identitas palsu,”ujar AKP Citra Ayu, Kanit PPA Polres Jaksel, sebagaimana dilansir Wawai News, Senin 20 Oktober 2025.

Menurut hasil penyelidikan awal, korban direkrut oleh perusahaan outsourcing sebelum dipindahkan ke Jakarta Selatan. Polisi kini menyelidiki dua perusahaan yang diduga sama-sama buta huruf terhadap umur pekerja.

“Kita harus lihat dulu dia meninggal karena apa, terjatuh atau karena lain hal,”kata Kapolres Metro Jaksel Kombes Nicolas Ary Lilipaly, memilih kalimat hati-hati seolah takut salah menafsirkan antara jatuh nasib dan jatuh sistem.

Para penyidik kini sibuk menelusuri arsip, dokumen, dan jejak digital. Tapi publik tahu, masalah ini bukan sekadar berkas melainkan potret nyata betapa mudahnya seorang anak masuk ke jalur kerja berisiko hanya bermodalkan KTP pinjaman dan sinyal Wi-Fi.

Nicolas menegaskan, polisi tak ingin buru-buru menetapkan tersangka. Alasannya klasik: “supaya tidak salah pasal.” Tapi bagi publik, tragedi ini sudah lebih dulu menunjukkan pasal paling nyata pasal kemanusiaan yang diabaikan.

Pemeriksaan terhadap pihak outsourcing sudah dilakukan, namun hasilnya masih “dirahasiakan.” Alias, seperti biasa: masyarakat diminta bersabar, sementara waktu berjalan, dan ingatan publik perlahan memudar.

Kisah ini menutup lingkaran tragis, seorang anak menonton siaran teman di TikTok, terpesona, mencoba peruntungan, bekerja di spa, lalu ditemukan tak bernyawa di belakang Gedung TIKI ironis, karena “TIKI” sejatinya tempat kirim barang, bukan tempat berakhirnya nyawa.

Kini polisi berjanji akan menelusuri semua rantai: dari perekrut hingga pengguna jasa. Tapi apa pun hasilnya nanti, satu hal sudah pasti: di negeri ini, kadang yang di bawah umur bukan cuma korban, tapi juga moral sistem yang merekrutnya.***

SHARE DISINI!