TANGGAMUS — Di tengah gonjang-ganjing pemangkasan anggaran kerja sama media, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tanggamus justru membuat gebrakan baru yang bikin dahi berkerut. Bukan menambah alokasi publikasi untuk media, melainkan merekrut konten kreator ber-gaji Rp2,5 juta per bulan.
Kabar ini sontak jadi bahan bisik-bisik para jurnalis dan netizen Tanggamus. Di saat perusahaan media lokal harus gigit jari karena dana publikasi anjlok, ternyata muncul “influencer istana” yang justru dikontrak resmi dengan Surat Keputusan (SK) Bupati.
“Iya, benar, itu SK Bupati langsung. Ada empat orang yang diangkat jadi konten kreator, gajinya Rp2,5 juta per bulan,” kata Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Tanggamus, Suhartono, saat dikonfirmasi, Senin (3/11/2025).
Menurut Suhartono, keempat konten kreator tersebut ditugaskan untuk memublikasikan kegiatan Bupati, Wakil Bupati, Sekda, dan Ibu Bupati di media sosial. Dengan begitu, total anggaran yang digelontorkan mencapai Rp10 juta per bulan atau Rp120 juta setahun hanya untuk empat orang “pasukan digital” pemerintah.
Ketika Media Ditinggal, Influencer Diangkat
Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar. Sebab, sebelumnya Pemkab Tanggamus justru memangkas anggaran publikasi media massa dari Rp4 miliar menjadi Rp2 miliar pada 2025. Ironisnya, serapan anggaran itu bahkan disebut baru menyentuh sekitar Rp300 juta hingga Oktober lalu.
Artinya, di saat media yang selama ini menjadi mitra resmi pemerintah daerah justru “puasa konten” karena anggaran dikurangi, Pemkab Tanggamus malah membuka pintu lebar untuk konten kreator pribadi.
“Lucu juga, ya. Kami media disuruh bersabar karena anggaran terbatas, tapi ternyata ada gaji untuk konten kreator. Ini seperti rumah tangga yang ngirit belanja dapur, tapi beli tanaman hias mahal buat pajangan,” ujar salah satu pimpinan media lokal dengan menyindir tagline “Jalan Lurus” Bupati Tanggamus.
Yang tak kalah menarik, hingga kini belum ada kejelasan mekanisme rekrutmen dan kriteria para konten kreator tersebut. Siapa yang menilai kompetensinya? Apakah melalui seleksi resmi, atau cukup lewat follower count dan kedekatan pribadi?
“Kalau konten kreator boleh di-SK-kan, nanti bisa-bisa tukang upload reels juga masuk e-katalog,” celetuk seorang jurnalis senior Tanggamus sambil tertawa getir.
Kemitraan Media di Persimpangan Jalan
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pola komunikasi publik pemerintah daerah mulai bergeser dari kemitraan pers ke strategi digital yang lebih personal. Padahal, jurnalisme daerah masih berperan penting sebagai kanal kontrol sosial, bukan sekadar alat promosi visual.
Tanpa tata kelola yang jelas, kebijakan “pemerintah by influencer” ini bisa menciptakan kesan timpang: media disubordinasi, sementara konten kreator jadi “jurubicara digital” baru Pemkab.
“Boleh saja pemerintah adaptif terhadap era digital. Tapi kalau konten kreator dibayar, sementara media disunat anggarannya, itu bukan adaptif itu diskriminatif,” ujar pengamat komunikasi publik dari Universitas Lampung, yang enggan disebut namanya.
Menunggu Penjelasan Bupati
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari Bupati Tanggamus terkait dasar hukum, urgensi, dan pertimbangan di balik kebijakan rekrutmen konten kreator berbayar ini. Apakah ini strategi modernisasi informasi, atau justru cara baru mengelola citra dengan gaya kekinian?
Yang jelas, di tengah banyaknya persoalan publikasi dan transparansi informasi di Tanggamus, kehadiran “konten kreator istana” ini menambah satu bab baru dalam buku tebal humor birokrasi Ketika media dikorbankan, tapi caption tetap jalan. Inikah Jalan Lurus yang di maksud itu?***













