TANGGAMUS — Tiga satpam SMAN 1 Semaka, Tanggamus, tiba-tiba berubah fungsi, dari penjaga sekolah menjadi “gatekeeper informasi”, setelah melarang wartawan memantau langsung proyek swakelola revitalisasi senilai Rp1,176.261.000, Selasa (18/11).
Larangan itu sontak mengagetkan para jurnalis. Pasalnya, selama ini area sekolah terbuka, apalagi untuk kepentingan peliputan. Namun mendadak, ketika proyek bernilai miliaran mendapat sorotan publik, pintu sekolah justru dikunci rapat seperti mau menghadapi ujian nasional.
“Dilarang masuk, perintah kepala sekolah,” kata seorang satpam kepada wartawan singkat padat tanpa embel-embel meski larangan secara lisan tidak ada tulisan di pintu gerbang sekolah.
Meski pun perdebatan kecil, mereka mengaku hanya menjalankan instruksi sebuah frasa klasik di setiap drama birokrasi. Ketiga Satpam itu diketahui bernama Purna, Mansur dan Hendri, ketiganya kompak menyebut larangan perintah kepala sekolah.
Larangan Mendadak Setelah Proyek Disorot
Seorang satpam mengakui bahwa sebelumnya tidak ada pembenahan akses. “Sekarang baru ada pembenahan,” ujarnya saat didesak wartawan kenapa sebelumnya tidak ada larangan.
Yang membuat mengernyit: mengapa tidak ada larangan sebelumnya, tetapi setelah proyek swakelola disorot media, akses liputan justru dibatasi? Transparansi yang semestinya melekat pada proyek negara, mendadak hilang seperti wifi sekolah saat hujan.
Wartawan datang untuk mengonfirmasi dugaan kejanggalan dalam pelaksanaan revitalisasi. Namun pihak sekolah tidak menjawab pesan WhatsApp, tidak mengangkat telepon, dan kini menambah kebijakan baru: larangan masuk jurnalis. Wajar bila jika muncul pertanyaan: apa yang sebenarnya ingin disembunyikan?
Toilet Dua Unit Seharga Rp177 Juta
Sebelumnya, SMAN 1 Semaka menjadi sorotan karena anggaran revitalisasi Rp 1.176.261.000. Yang paling mencolok bukan ruang komputer, bukan ruang administrasi, bukan ruang ibadah melainkan toilet dua unit senilai Rp177.329.394,53.
Anggarannya cukup untuk membeli rumah sederhana lengkap dengan dapur, pagar, dan bonus tanaman hias di beberapa kecamatan di Lampung. Wajar banyak yang membayangkan sekolah ini akan memiliki Toilet Sultan, mungkin dengan fitur sensor wajah atau AC double blower.
Swakelola di Atas Kertas, Borongan di Lapangan
Proyek ini bersumber dari APBN 2025 dan dikelola dengan skema swakelola oleh P2SP. Secara teori, swakelola menekankan:
- partisipasi masyarakat,
- tenaga lokal prioritas,
- transparansi,
- akuntabilitas.
Secara praktik? Warga sekitar justru mengaku tidak dilibatkan.
“Swakelola ini swakelola siapa? Kami cuma lihat orang luar yang kerja,” ujar seorang warga.
Swakelola yang seharusnya “gotong royong modern”, di lapangan terasa lebih seperti “borongan gaya lama yang dipakaikan kostum swakelola”.
Petunjuk Teknis Dirjen Pendidikan Menengah No. M2400/C/HK.03.01/2025 sudah jelas. Tapi Juknis hanya efektif kalau dibaca. Jika tidak, ia hanya jadi kertas yang nasibnya mirip buku perpustakaan: tersedia, tapi tak tersentuh.
Rangkap Jabatan ala Superhero Tanpa Jubah, Dengan Tanggung Jawab Berlapis-Lapis
Sumber internal menyebut dugaan seorang guru bersertifikasi merangkap sebagai:
- Wakil Kepala Sarpras,
- Bendahara BOS,
- Bendahara Proyek Revitalisasi.
Dalam manajemen risiko, ini disebut single point of failure.
Dalam humor birokrasi, ini disebut “pegawai serba bisa, anggaran serba sibuk.”
Dalam audit, ini disebut potensi konflik kepentingan.
Alih-Alih Klarifikasi, Pihak Sekolah Sibuk Cari ‘Berita Tandingan’
Alih-alih memberikan klarifikasi terbuka, pihak sekolah justru dikabarkan mencari narasi pembanding. Strategi komunikasi yang tidak hanya usang, tapi juga bumerang — karena menutup pintu hanya memperbesar tanda tanya.
Transparansi, rupanya, menjadi barang mahal kedua setelah toilet dua unit itu.
Bedah Anggaran Proyek
Plang resmi proyek mencatat:
- Rehabilitasi ruang perpustakaan — Rp97.855.828,33
- Rehabilitasi ruang komputer — Rp133.010.616,29
- Rehabilitasi ruang administrasi — Rp520.250.594,75
- Rehabilitasi ruang UKS — Rp67.537.183,39
- Rehabilitasi ruang ibadah — Rp85.368.623,05
- Rehabilitasi ruang OSIS — Rp94.908.759,66
- Pembangunan toilet 2 unit — Rp177.329.394,53
Sebagai konteks:
Toilet standar DAK di berbagai daerah umumnya berada di kisaran Rp40–90 juta per unit.
Artinya, toilet SMAN 1 Semaka harganya dua kali lipat, meskipun fungsinya tetap toilet.
Swakelola Tanpa Warga, Transparansi Tanpa Informasi
Juknis Swakelola DAK Fisik mengatur pelibatan:
- sekolah,
- komite,
- masyarakat,
- tenaga ahli lokal.
Namun laporan lapangan menyebut pelaksana justru bekerja dalam lingkaran sangat kecil, lebih kecil dari ruang UKS yang sedang direhab.
Bahkan beberapa warga baru tahu ada proyek setelah papan informasi dipasang itu pun setelah pondasi jadi.
Pertanyaan yang Wajib Dijawab Kepala Sekolah dan Dinas
- Mengapa tenaga lokal tidak dilibatkan, padahal juknis mewajibkan?
- Bagaimana perhitungan biaya sehingga dua toilet mencapai Rp177 juta?
- Mengapa satu orang merangkap tiga jabatan strategis sekaligus?
- Mengapa kepala sekolah memilih diam dibanding klarifikasi?
- Apakah pelaporan ke Ditjen dan dinas sudah sesuai protokol swakelola?
Revitalisasi seharusnya memperbaiki kualitas sekolah dan memberdayakan masyarakat sekitar. Namun di SMAN 1 Semaka, yang terevitalisasi justru rasa penasaran publik, tanda tanya baru, dan pertanyaan lama yang belum dijawab.
Jika ini adalah swakelola, publik berhak bertanya:
Swakelola untuk kepentingan siapa?
Karena sejauh ini, yang benar-benar “dikelola” justru akses informasi.***












