TANGGAMUS — Praktik pemotongan dana bantuan pelajar kembali mencuat. Di SDN 1 Sinar Saudara, Kecamatan Wonosobo, jejak dugaan pungutan liar dalam penyaluran Program Indonesia Pintar (PIP) terbongkar setelah sejumlah wali murid mengaku dimintai setoran wajib Rp50 ribu oleh Suteni, warga Pekon Sinar Saudara.
Dari penelusuran di lapangan, Suteni yang bukan bagian dari struktur sekolah maupun dinas pendidikan beroperasi sebagai Koordinator Desa (Kordes) PIP Tim Jalan Lurus, sebuah jaringan relawan politik yang lahir saat Pilkada 2024 untuk mendukung pasangan Saleh Asnawi Agus Suranto. Melalui jaringan ini, sejumlah siswa diklaim sebagai “binaan”, dan bantuan PIP mereka diajukan lewat jalur aspirasi salah satu anggota DPR RI.
Saat ditemui pada Rabu, 19 November 2025, Suteni sama sekali tidak menutupi praktik pengutipan tersebut. Dengan santai ia mengakui bahwa setiap siswa diminta menyetor Rp50 ribu ketika pencairan.
“Kami sebagai pengurus nggak ada yang ngebiayai. Fotokopi, pulsa, operasional, ya dari situ. Kami juga ada atasan, Pak Iswanto sebagai korcam,” ujarnya.
Yang lebih mengejutkan, Suteni menyebut pemotongan itu sebagai hal lumrah dalam proses pengajuan PIP.
“Kalau masalah setoran itu ya sudah sewajarnya. Tanpa jasa kami sebagai pengurus, PIP itu nggak bakal cair,” kata Suteni tanpa ragu.
Pernyataan ini justru membuka dugaan bahwa pungutan tersebut bukan insiden spontan, melainkan bagian dari pola kerja yang dianggap normal oleh pengurus di tingkat bawah.
Sementara pihak SDN 1 Sinar Saudara memastikan bahwa jalur pengajuan yang digunakan Suteni tidak melibatkan sekolah.
“Ada beberapa siswa dapat PIP dari jalur mereka. Sekolah tidak pernah minta pungutan apa pun. Suteni hanya memberi tahu kalau ada bantuan cair,” ujar salah satu guru, Kamis, 20 November 2025.
Ini berarti pungutan terjadi di luar kontrol sekolah, dengan memanfaatkan nama program pemerintah.
Dikonfirmasi terpisah pada Jumat, 21 November 2025, Ismanto, Koordinator Kecamatan PIP Wonosobo, memberi pernyataan tegas yang berseberangan dengan pengakuan Suteni. Ia menolak keras jika dirinya disebut memberi instruksi pemotongan dana.
“Saya tidak pernah menyuruh! Jangankan Rp50 ribu, Rp5 ribu pun tidak boleh. Itu sudah saya tegaskan ke semua kordes,” tegasnya.
Ismanto bahkan menyebut tindakan Suteni sebagai perbuatan sepenuhnya pribadi.
“Kalau memang dia narik, itu ulah dia. Jangan libatkan saya. Menurut saya, itu pungli dan dia harus siap menanggung risikonya,” katanya.
Pernyataan keras ini memicu tanda tanya baru, apakah pungutan ini benar-benar inisiatif tunggal Suteni, atau bagian dari pola yang tidak diakui oleh struktur di atasnya?
Fakta bahwa pungutan terjadi pada bantuan sosial yang seharusnya diterima siswa miskin secara utuh semakin memperkuat dugaan adanya penyalahgunaan kewenangan oleh pihak luar sekolah.
Wali murid yang ditemui tim menyebut pungutan dilakukan tanpa memberikan kuitansi, tanpa dasar aturan, dan dilakukan seolah menjadi syarat pencairan.
Beberapa wali murid meminta aparat penegak hukum serta Dinas Pendidikan turun tangan.
“Ini bantuan untuk anak sekolah, bukan untuk orang-orang yang ngaku pengurus. Tolong dibenahi,” ujar salah satu wali murid.
Kasus ini menambah catatan panjang dugaan pungli dalam penyaluran PIP di berbagai daerah. Polanya terus berulang: bantuan negara dipotong oleh oknum yang mengatasnamakan “pengurus”, “relawan”, atau “tim aspirasi”.
Sementara fakta lapangan menunjukkan, siswa miskin tetap menjadi pihak yang paling dirugikan. ***











