LAMPUNG TIMUR — Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Timur, bungkam dikonfirmasi terkait alat pertanian combed yang pernah digunakan oleh Warga Desa Marga Batin bentuk bantuan oleh salah satu politisi partai Gerindra saat Pileg 2024 lalu.
pasalnya, alat pertanian combed tersebut disinyalir merupakan bantuan pemerintah diambil dari uang rakyat untuk mendukung pertanian tapi dimanfaatkan oleh politisi yang saat ini duduk sebagai anggota DPRD Lampung Timur.
alat berat tersebut diduga dijadikan alat politik pihak politisi Gerindra dimasa kampanye Pileg untuk memperoleh dukungan. tapi setelahnya alat pertanian itu tak jelas juntrungannya.
Kisah bantuan alat berat pertanian di Lampung Timur kembali menjadi sorotan. Meski dulu dijanjikan menjelang Pemilihan Legislatif (Pileg), keberadaan alat-alat itu diyakini telah “berpindah tangan” sebelum benar-benar mendarat di tangan para petani.
Mengingat bahwa berita sebelumnya Wawainews yang berjudul “Janji di Musim Pileg, Janji Hilang di Musim Panen”, diceritakan bagaimana alat-alat berat (misalnya ekskavator, traktor besar) yang dijanjikan dalam kampanye politik ternyata tidak sepenuhnya digunakan untuk kepentingan produksi pertanian lokal, melainkan “hilang” di musim panen.
Ketika dikonfirmasi media terkait polemik ini, Tri Wibowo, Kepala Dinas Pertanian Lampung Timur, menyatakan bahwa dirinya belum bisa memberikan komentar langsung mengenai keberadaan atau status alat-alat pertanian tersebut. “Belum bisa komentar, Mas. Saya cari info dulu ke bawah,” ujarnya singkat.
Pernyataan Tri Wibowo ini menambah dimensi baru pada kritik publik. Di satu sisi, janji kampanye soal alat berat tampak sudah dibangun sejak musim Pileg janji manis untuk membangun pertanian tetapi di lapangan, pertanggungjawaban dan bukti pemanfaatannya dinilai minim atau bahkan hilang.
Menurut Jhon aktivis lokal, warga serta petani dan kelompok tani lokal sudah geram hingga menyatakan kekecewaan karena setelah kampanye, sebagian alat berat yang dijanjikan tidak kunjung diserahkan atau digunakan sebagaimana mestinya.
Beberapa bahkan menuding adanya “perpindahan tangan” alat berat ke pihak-pihak yang bukan petani, atau penggunaan alat untuk kepentingan non-pertanian lokal.
Pernyataan Kadis Tri yang meminta waktu untuk “menelusuri ke bawah” bisa diartikan sebagai respon defensif terhadap tekanan publik: dia tampak mengakui bahwa ada kemungkinan masalah di tingkat operasional atau distribusi bantuan alsintan.
Namun, tanggapan lambat dan kurang transparan juga memicu ketidakpuasan petani, jika tidak segera dijawab dengan data yang jelas, kekhawatiran bahwa janji kampanye hanya alat politik akan terus menguat.
Ridwan warga lainnya menyebutkan bahwa ini bukan sekadar masalah teknis distribusi, tetapi mencerminkan resiko politisasi bantuan pertanian. Bantuan alsintan yang sangat dibutuhkan petani bisa menjadi alat politik pada masa kampanye, tetapi setelah janji diberikan saat panen tiba pertanggungjawaban nyata menjadi kabur.***













