LAMPUNG TIMUR – Sosialisasi Pembinaan Ideologi Pancasila dan Wawasan Kebangsaan yang digelar pada Minggu (2/11/2025) di Dusun 2 Pulung Rejo, Desa Tanjung Wangi, Kecamatan Wawai Karya, Lampung Timur, berubah menjadi forum kritik tajam mengenai lunturnya pemahaman masyarakat terhadap dasar negara.
Adhitia Pratama, Anggota DPRD Provinsi Lampung Fraksi Golkar Dapil 8, tampil lugas dan tanpa basa-basi saat menyampaikan materi. Kegiatan ini dihadiri Kades Tanjung Wangi Harno, perangkat desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, serta warga setempat.
Dalam sesi pemaparan, Adhitia mengungkapkan keprihatinannya terhadap generasi yang makin jauh dari nilai-nilai kebangsaan.
“Kita ini hafal Pancasila, tapi sudah banyak yang tidak lagi mengamalkan. Anak-anak sekarang lebih hafal fitur HP daripada sila kedua,” tegasnya, menyindir fenomena digitalisasi yang tak terkendali.
Ia menegaskan bahwa sosialisasi seperti ini bukan agenda formalitas, melainkan upaya serius mengembalikan orientasi masyarakat pada ideologi negara.
“Kami turun ke desa-desa bukan sekadar menjalankan program, tapi untuk memastikan Pancasila tidak kalah oleh aplikasi dan algoritma yang tiap hari merusak fokus hidup kita,” ujarnya.
Adhitia juga menyebut, di banyak tempat, diskusi soal Pancasila hanya hidup saat upacara atau saat ada lomba 17 Agustus. Dalam keseharian, nilai-nilai seperti gotong royong dan toleransi semakin terpinggirkan.
“Kecanggihan teknologi itu penting, tapi jangan sampai membuat kita kehilangan jati diri bangsa,” katanya.
Kunjungan legislator provinsi ini sekaligus menjadi ruang silaturahmi dan mendengar langsung aspirasi masyarakat.
“Kami ingin masyarakat Lampung Timur, khususnya Wawai Karya dan Tanjung Wangi, merasa bahwa mereka tidak hanya didatangi saat pemilu. Sosialisasi ini bagian dari komitmen menjaga hubungan dan menguatkan identitas kebangsaan,” ujarnya.
Kades Tanjung Wangi, Harno, menyampaikan dukungan penuh atas kegiatan tersebut, menilai bahwa materi kebangsaan perlu kembali digencarkan mengingat derasnya arus informasi digital yang kerap “memisahkan” masyarakat bahkan di satu desa.
Acara ditutup dengan sesi tanya jawab yang berlangsung hangat dan kritis. Warga menyoroti kurangnya ruang diskusi kebangsaan di tingkat desa dan mengharapkan kegiatan serupa dilakukan lebih rutin.
Sosialisasi ini menjadi pengingat bahwa Pancasila bukan sekadar slogan atau hafalan masa sekolah melainkan fondasi yang harus terus diperbaharui pemahamannya agar tidak tenggelam oleh budaya digital yang kian dominan. ***













