Scroll untuk baca artikel
Opini

Presiden Soeharto: Pahlawan Nasional dan Aktivis ’98

×

Presiden Soeharto: Pahlawan Nasional dan Aktivis ’98

Sebarkan artikel ini
Presiden Prabowo menganugerahkan gelar pahlawan untuk dua presiden RI, Soeharto dan Gusdur bersama beberapa sosok dari berbagai latar belakang, Senin 10 November 2025 - foto doc ist

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 22/11/2025

WAWAINEWS.ID – Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto memunculkan diskusi luas di ruang publik. Menariknya, banyak aktivis Reformasi 1998 yang dulu berada di garda depan penurunan kekuasaan Soeharto tidak menolak pengakuan negara terhadap tokoh yang mereka kritik pada masanya.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Sebuah survei menunjukkan 80% rakyat menyetujui atau bahkan menginginkan pemberian gelar tersebut. Penolakan justru datang dari PDIP dan sejumlah koalisi masyarakat sipil, khususnya pegiat HAM yang menuding Soeharto bertanggung jawab atas kasus pembunuhan anggota PKI tahun 1965.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa aktivis Reformasi ’98 tidak menentang pengakuan negara terhadap Soeharto? Untuk menjawabnya, perlu ditinjau kembali dinamika Gerakan 1998, filosofi reformasi, dan teori perubahan sosial.

Gerakan 1998: Koalisi Beragam, Tujuan Tidak Identik

Gerakan Reformasi 1998 bukan gerakan tunggal, melainkan koalisi longgar berbagai kelompok. Berdasarkan kajian gerakan sosial modern (Charles Tilly, Sidney Tarrow, Della Porta), gerakan besar selalu terbentuk dari elemen-elemen dengan tujuan yang berbeda-beda. Dalam Reformasi 1998, setidaknya terdapat lima aktor utama:

BACA JUGA :  Transisi dan Celah Lemah Oposisi
  1. Barisan globalis, yang melihat reformasi sebagai peluang liberalisasi dan akses ke sumber daya strategis Indonesia.
  2. Kelompok pragmatis Orde Baru, yang ingin menyelamatkan kekuasaan mereka pasca-Soeharto.
  3. Eks simpatisan dan anggota PKI, yang membawa luka sejarah dan ingin penyeimbangan memori.
  4. Kaum reformis, termasuk mahasiswa, akademisi, dan pejuang pro-demokrasi, yang fokus pada perubahan sistem.
  5. Soeharto dan sejumlah elit Orde Baru, yang ingin menyelesaikan visi pembangunan nasional untuk fondasi percepatan industrialisasi.

Sering luput disadari publik, kelompok reformis mayoritas aktivis ’98 tidak bergerak karena kebencian pribadi terhadap Soeharto, melainkan untuk mengubah struktur politik yang otoriter.

Mengapa Aktivis ’98 Tidak Menolak Gelar Pahlawan?

Ada lima alasan utama:

1. Reformasi Anti-Sistem, Bukan Anti-Persona

Gerakan reformasi menuntut perubahan struktur politik, bukan pembalasan terhadap individu. Tuntutan utama meliputi:

  • Pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme)
  • Demokratisasi kepartaian
  • Desentralisasi dan otonomi daerah
  • Pembatasan masa jabatan presiden
  • Penghapusan dwifungsi ABRI
BACA JUGA :  Makna “Atas Berkat Rahmat Allah”

Tidak satupun bersifat personal terhadap Soeharto. Maka, pengakuan negara terhadap jasanya tidak dianggap bertentangan dengan prinsip reformasi.

2. Sejarah Tidak Hitam-Putih

Dalam kajian sejarah politik, dikenal konsep historical layering dan dual legacy: seorang pemimpin bisa memiliki jasa besar sekaligus dampak negatif. Aktivis ’98 memahami bahwa Soeharto menstabilkan negara pasca-1965, mendorong swasembada pangan, membangun infrastruktur dasar, dan memberi fondasi awal industrialisasi. Pengakuan jasa pembangunan bukan penghapusan kritik terhadap rezim otoriter.

3. Negara Modern Memisahkan Kontribusi dan Kesalahan Politik

Pemberian gelar pahlawan sering kali menilai kontribusi historis, bukan legitimasi terhadap semua tindakan seorang tokoh. Banyak negara menganugerahkan gelar kepada pemimpin yang membawa pembangunan sekaligus memimpin rezim otoriter. Indonesia menilai Soeharto melalui lensa serupa.

4. Aktivis Mengadopsi Pendekatan Objektif dan Akademik

Setelah 25 tahun reformasi, banyak aktivis ’98 membaca sejarah dengan kedewasaan akademik. Mereka memahami konsep nation-building (O’Donnell, Schmitter), bahwa pembangunan negara melibatkan fase otoritarian sekaligus fase demokratisasi. Soeharto dipandang sebagai “foundational leader” yang memberi kontribusi besar tanpa menghapus kritik terhadap sistem.

BACA JUGA :  Presiden Soeharto, Kemelut 98 dan Gangguan Negara Maju

5. Aktivis Reformis Tidak Membawa Luka Pribadi

Berbeda dari kelompok yang bergerak karena trauma sejarah, reformis 1998 fokus pada perubahan sistemik, bukan balas dendam personal. Pemberian gelar pahlawan oleh negara tidak mengganggu misi reformasi karena reformasi bertujuan koreksi struktur politik, bukan menghukum individu.

Kesimpulan: Kritik Sistem, Penghargaan Sejarah

Aktivis reformasi ’98 dapat mengkritik Orde Baru dan menghormati jasa Soeharto secara bersamaan. Reformasi menegaskan perubahan struktur politik, bukan penghapusan jasa pembangunan. Sejarah harus dibaca utuh, bukan hitam-putih, dengan melihat dual legacy pemimpin dan kontribusinya terhadap perjalanan bangsa.

Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah pengakuan terhadap jasa pembangunan, sementara kritik terhadap otoritarianisme tetap sah. Fenomena ini menunjukkan kedewasaan politik dan historis para aktivis Reformasi ’98: mereka mampu menilai sejarah secara jernih, objektif, dan berimbang.

Jakarta, ARS (rohmanfth@gmail.com)