Scroll untuk baca artikel
Agama

Ijtimak Ulama Kemenag Rumuskan 8 Rekomendasi Penyempurnaan Tafsir Alquran

×

Ijtimak Ulama Kemenag Rumuskan 8 Rekomendasi Penyempurnaan Tafsir Alquran

Sebarkan artikel ini
Al Qur'an - foto istockphoto
Al Qur'an - foto istockphoto

JAKARTA – Ijtimak Ulama Tafsir Al-Qur’an yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) pada 19–21 November 2025 di Jakarta melahirkan delapan rekomendasi yang menjadi fondasi baru penyempurnaan Tafsir Al-Qur’an Kemenag.

Forum ini mempertemukan ulama, akademisi, dan pakar lintas disiplin sebuah pertemuan besar di mana khazanah klasik bertatap muka dengan realitas zaman yang bergerak lebih cepat daripada notifikasi gawai.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Acara yang dihelat Direktorat Urusan Agama Islam dan Bina Syariah bersama Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an serta Badan Moderasi Beragama ini menghadirkan 54 narasumber dari MUI pusat-daerah, perguruan tinggi Islam, pesantren Al-Qur’an, hingga pusat studi bahasa dan keagamaan.

Melalui rapat pleno yang padat, peserta membedah penyempurnaan tafsir juz 1–3 beserta metodologi penafsirannya sebuah proses yang semakin krusial di tengah derasnya arus interpretasi instan di media sosial.

BACA JUGA :  Enam Juta Umat Muslim Lanjutkan Ibadah Umrah

Delapan Rekomendasi: Jalan Tengah Antara Tradisi dan Tantangan Baru

Forum merumuskan delapan rekomendasi utama sebagai berikut:

  1. Standarisasi ilmiah melalui penguatan referensi, penyatuan glosari dan indeks, serta penyeragaman penulisan tokoh dan istilah agar pembaca tidak lagi tersesat antara “Al-Ghazali”, “Al Ghazali”, dan “al-Ghazālī”.
  2. Penyempurnaan redaksional dengan bahasa Indonesia mutakhir yang tetap elegan, tanpa kehilangan nuansa keilmuan.
  3. Penguatan substansi, termasuk aspek mufradat, munasabah, Israiliyat, tafsir alam (qauniyah), ekologi, gender, dan pesan moral (‘ibrah) isu-isu yang kini tak bisa dihindari, bahkan dalam diskursus keagamaan yang paling klasik sekalipun.
  4. Peninjauan metodologi penafsiran dengan mengintegrasikan pendekatan klasik dan kontemporer: mulai dari analisis induktif hingga pembacaan empatik terhadap realitas sosial.
  5. Penekanan nilai kemanusiaan, yang mengangkat martabat Bani Adam serta prinsip rahmat, kasih sayang, dan keadilan sebuah pengingat lembut bahwa tafsir semestinya menyembuhkan, bukan memecah belah.
  6. Penguatan narasi moderatif dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan agama lain, dengan gaya penyampaian yang santun, ilmiah, dan bebas dari retorika panas ala kolom komentar internet.
  7. Internasionalisasi karya, melalui penerjemahan tafsir ke bahasa Arab dan Inggris serta partisipasi di forum global sekaligus memperkenalkan bahwa Indonesia punya otoritas tafsir yang solid.
  8. Inovasi penyajian, termasuk kamus istilah Al-Qur’an, tafsir ramah generasi Z, penggunaan bahasa populer, hingga edisi aksesibel bagi penyandang disabilitas—sebagai bukti bahwa tafsir tidak harus kaku untuk tetap berwibawa.
BACA JUGA :  Diumumkan 4 November, Ini Syarat Bagi yang Berminat Ikut Seleksi Petugas Haji 2025

Direktur Jenderal Bimas Islam, Abu Rokhmad, menyambut delapan rekomendasi itu sebagai langkah strategis memperkuat relevansi tafsir pemerintah.

Menurutnya, penyempurnaan ini penting agar tafsir tetap menjadi rujukan moderat di tengah maraknya wacana keagamaan yang “viral dulu, valid belakangan.”

“Rekomendasi ini memastikan tafsir pemerintah tidak hanya kuat secara metodologis, tetapi juga relevan dengan persoalan keagamaan dan sosial hari ini. Tafsir Kemenag harus menjadi rujukan yang meneduhkan dan mudah dipahami,” ujarnya.

BACA JUGA :  Menag:  Pelunasan Bipih Dapat diminta Kembali

Abu menegaskan, bila dijalankan konsisten, hasil Ijtimak akan memperkuat peran tafsir sebagai pijakan ilmiah sekaligus alat menjaga harmoni beragama.

Ketua Tim Tafsir Kemenag, Darwis Hude, menyebut penyempurnaan tafsir sebagai “kerja peradaban” sebuah proses panjang yang menghubungkan warisan ulama klasik dengan kebutuhan pembaca kontemporer yang sering kali membaca ayat sambil membuka dua tab lain di ponsel.

“Penyempurnaan tafsir bukan sekadar revisi kata-kata. Ini adalah upaya membaca kembali teks Al-Qur’an dalam dialog dengan konteks sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan,” jelasnya.

Ia menambahkan, isu-isu seperti lingkungan, relasi antaragama, kesetaraan gender, dan dinamika generasi digital kini menuntut perhatian lebih dalam penyusunan tafsir. “Keseimbangan antara metodologi deduktif klasik dan pembacaan induktif-kontekstual menjadi kunci,” ujarnya.