Scroll untuk baca artikel
Nasional

Demi Selamatkan Sawah dari Beton, ATR/BPN Desak Daerah Revisi Tata Ruang

×

Demi Selamatkan Sawah dari Beton, ATR/BPN Desak Daerah Revisi Tata Ruang

Sebarkan artikel ini
Menteri Agraria Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid - foto doc ist
Menteri Agraria Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid - foto doc ist

BANDUNG — Pemerintah pusat akhirnya menarik rem darurat. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bersama Kementerian Pertanian mendorong pemerintah daerah merevisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), demi memastikan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) tidak terus tergerus proyek dan beton.

Fakta di lapangan menunjukkan alarm sudah lama berbunyi. Sebanyak 269 kabupaten/kota di Indonesia belum mencantumkan KP2B dalam Perda RTRW, sementara 139 daerah lainnya bahkan belum memenuhi batas minimal 87 persen Lahan Baku Sawah (LBS). Dua kondisi ini dinilai cukup untuk menyimpulkan satu hal: tata ruang banyak daerah masih ramah investasi, tapi dingin pada ketahanan pangan.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menegaskan, daerah-daerah dengan kondisi tersebut wajib merevisi RTRW, bukan sekadar menambal kebijakan dengan surat edaran atau kebijakan sementara.

BACA JUGA :  Gerbang Tol Cikarang Utama, Dipindah ke Cikampek

“Sebagai dasar revisi RTRW, pemerintah daerah harus segera mengidentifikasi seluruh lahan sawah yang ada. Batas waktunya Februari 2026,” ujar Nusron dalam Rapat Koordinasi Tata Ruang dan Pertanahan di Gedung Sate, Bandung, Kamis (18/12/2025).

Sambil menunggu data yang valid, pemerintah pusat memilih langkah keras: moratorium penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) di atas lahan sawah, baik oleh pusat maupun daerah. Artinya, tidak ada lagi izin “kilat” yang berujung sawah berubah jadi perumahan, kawasan industri, atau gudang logistik.

“Alih fungsi lahan tetap dimungkinkan, tapi wajib mengganti LBS. Kalau tidak, keseimbangan wilayah akan terus rusak,” tegas Nusron.

Khusus sawah aktif yang terlanjur masuk kawasan hutan, ATR/BPN akan membuka meja perundingan dengan Kementerian Kehutanan. Intinya satu: sawah jangan jadi korban silang kewenangan.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) menyambut tegas kebijakan ini. Ia menilai kondisi Jawa Barat sudah memasuki fase darurat tata ruang.

BACA JUGA :  Jokowi Akui Tak Berminat Jadi Presiden Tiga Periode

“Kita segera usulkan Perda RTRW yang sinkron antara provinsi dan kabupaten/kota. Januari ini masuk,” ujar KDM.

Menurutnya, penataan ruang ke depan harus secara eksplisit melindungi kawasan hutan, sawah, rawa, sumber air, dan daerah aliran sungai. Tanpa itu, aturan boleh ditaati, tapi bencana tetap datang.

“Kalau hari ini aturannya membolehkan, tapi hasilnya banjir dan longsor, kita pilih mana? Taat aturan atau tangani bencana? Saya pilih tangani bencana,” kata KDM, lugas.

Ia menambahkan, jika Perda RTRW sudah terbentuk, pemerintah tak lagi perlu mengandalkan surat edaran darurat yang sering kali dianggap sekadar “imbauan moral”.

Dalam kesempatan yang sama, KDM mengungkapkan kesepakatan strategis antara Kanwil ATR/BPN Jawa Barat dengan Perhutani dan PTPN untuk mempercepat sertifikasi aset negara. Langkah ini dinilai krusial untuk mencegah sengketa lahan yang selama ini kerap berujung konflik berkepanjangan.

BACA JUGA :  Gunung Padang Dibangun Kembali: KDM Mulai Rekonstruksi, Akhiri “Mimpi Panjang” Cagar Budaya

Selain itu, pemerintah pusat didorong segera menetapkan sempadan sungai secara nasional. Jika sudah ditetapkan oleh Kementerian PUPR, maka sertifikat yang melanggar sempadan bisa langsung dicabut oleh ATR/BPN.

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Kehutanan mencatat kondisi yang tak kalah mengkhawatirkan. Luas kawasan hutan di Jawa Barat kini tinggal 760 ribu hektare, atau sekitar 22,54 persen dari daratan.

“Padahal keseimbangan ekologis idealnya minimal 30 persen,” ujar Dirjen PKTL Ade Tri Ajikusumah.

Ia menegaskan, ke depan kementeriannya tidak akan lagi mengeluarkan izin lokasi dan izin lingkungan tanpa persetujuan gubernur Jawa Barat.

Pesannya jelas: tata ruang bukan lagi soal garis di peta, melainkan soal memilih menyelamatkan pangan dan lingkungan, atau terus merapikan izin sambil menunggu bencana berikutnya.***