Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 22/12/2025
WAWAINEWS.ID – Perdebatan penetapan status bencana nasional untuk banjir Aceh tidak dapat dilepaskan dari pengalaman historis Indonesia menangani bencana skala besar. Banyak pihak mendorong status itu bukan semata akses anggaran. Karena dukungan pemerintah pusat telah berjalan.
Melainkan menghadirkan mekanisme rekonstruksi terstruktur, terpusat, dan berkelanjutan. Seperti pernah dilakukan melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh–Nias pasca tsunami 2004.
Dalam konteks ini, muncul perbandingan menarik. Antara dua model penanganan bencana: lembaga khusus ala BRR dan pendekatan cepat melalui Zeni Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kini digunakan pemerintah. Perbandingan ini berkaitan dengan isu kecepatan, efisiensi, tata kelola, dan keberlanjutan rekonstruksi.
BRR Aceh–Nias lahir dari situasi bencana luar biasa. Menghancurkan hampir seluruh sendi kehidupan di Aceh. Tsunami 2004 tidak hanya merusak infrastruktur fisik. Tetapi meruntuhkan tata pemerintahan lokal, struktur sosial, dan perekonomian.
Pada saat itu negara memilih membentuk lembaga ad hoc dengan kewenangan lintas sektor. Anggaran multiyears, dan mandat jangka menengah hingga panjang. Secara teoritik, model ini sejalan konsep post-disaster institutional rebuilding. Negara menciptakan otoritas khusus untuk mengatasi kegagalan koordinasi, fragmentasi kebijakan, dan lemahnya kapasitas pemerintah daerah pascabencana.
Keunggulan konseptual BRR tidak identik kinerja tanpa masalah. Selain memakan waktu lama pada fase awal akibat proses pembentukan kelembagaan, BRR menghadapi persoalan serius tata kelola. Audit dan proses hukum menunjukkan BRR tidak sepenuhnya steril dari penyimpangan dan korupsi.
Kompleksitas proyek, besarnya anggaran, serta lemahnya mekanisme pengawasan pada tahap awal membuka ruang bagi moral hazard. Dalam literatur administrasi publik, fenomena ini dikenal sebagai disaster rent. Ialah situasi ketika bencana justru menciptakan peluang penyalahgunaan kewenangan. Negara berada dalam tekanan bergerak cepat dengan pengawasan belum mapan.
Fakta ini penting dicatat agar model BRR tidak diperlakukan romantik. Kelembagaan khusus menawarkan koordinasi terpusat dan visi jangka panjang. Tetapi berisiko birokrasi gemuk, inefisiensi, dan penyimpangan jika tanpa kontrol politik dan hukum yang kuat.
Lambannya fase awal BRR bukan persoalan teknis. Melainkan berdampak pada meningkatnya biaya ekonomi dan risiko tata kelola.
Pada sisi lain, pendekatan Zeni TNI berangkat dari logika berbeda. TNI dirancang bertindak cepat dalam situasi krisis. Rantai komando pendek dan kemampuan mobilisasi sumber daya tinggi.
Dalam konteks bencana, terutama banjir dan longsor, kehadiran Zeni TNI menjadi penentu. Apakah wilayah tetap terhubung atau terisolasi. Jembatan darurat tipe Bailey, pembukaan jalan akses, perbaikan tanggul, dan normalisasi sungai darurat dapat dilakukan dalam hitungan hari atau minggu.
Perspektif teori manajemen krisis: ini mencerminkan pendekatan rapid response governance. Negara memprioritaskan pemulihan fungsi dasar untuk mencegah keruntuhan sosial dan ekonomi lebih luas.
Keunggulan Zeni TNI dalam kecepatan tidak terbantahkan. Tanpa prosedur pengadaan panjang, tanpa fragmentasi kewenangan, dan disiplin organisasi tinggi. TNI mampu mengisi kekosongan negara pada fase paling kritis pascabencana. Dalam konteks ekonomi politik bencana, kecepatan ini menurunkan opportunity cost akibat terputusnya akses transportasi, distribusi pangan, dan layanan publik.
Penggunaan Zeni TNI mencerminkan rasionalitas negara yang ingin menjaga stabilitas. Sekaligus legitimasi publik melalui kehadiran cepat di lapangan.
Namun, efektivitas Zeni TNI memiliki batas struktural. Mandat utama TNI bukan pembangunan sipil permanen. Melainkan penanganan keadaan darurat dan dukungan terhadap otoritas sipil. Infrastruktur dibangun bersifat sementara dan fungsional. Jembatan darurat, dirancang untuk segera digunakan. Bukan untuk menggantikan jembatan permanen yang membutuhkan perencanaan teknis, kajian hidrologi, dan integrasi dengan tata ruang.
Dari sudut pandang teori pembangunan pascabencana, fase ini baru mencakup relief dan early recovery. Belum menyentuh rehabilitation dan reconstruction secara penuh.
Di sini letak inti perdebatan antara model BRR dan Zeni TNI. BRR unggul dalam kapasitas rekonstruksi jangka panjang. Tetapi lamban di awal dan rawan penyimpangan jika tata kelolanya lemah. Zeni TNI unggul dalam kecepatan dan kepastian komando, tetapi tidak dirancang sebagai mesin utama pembangunan permanen.
Dalam kebijakan publik, dilema ini kerap dipahami sebagai ketegangan antara speed, accountability, dan institutional depth. Tidak ada satu model yang sepenuhnya unggul dalam semua dimensi.
Dalam konteks kebijakan pemerintahan saat ini, pendekatannya memanfaatkan keunggulan TNI pada fase awal. Kemudian menggerakkan seluruh instrumen negara di bawah kendali politik yang kuat. Setelah Zeni TNI membuka akses dan memulihkan fungsi dasar, model kelembagaan lanjutan tetap diperlukan. Tetapi tidak harus berupa badan ad hoc seperti BRR.
Alternatifnya rehabilitasi dan rekonstruksi digerakkan langsung presiden melalui kabinet. Koordinasi tidak diserahkan pada satu badan baru. Melainkan pada kepemimpinan eksekutif pusat.
Praktik ini tercermin dari instruksi presiden kepada kementerian dan lembaga. Kemendagri mendorong pemda sekaligus terlibat pembangunan rumah warga terdampak. Kementan menormalisasi dan pemulihan lahan sawah. Kementerian PUPR melanjutkan pembangunan infrastruktur permanen. Kementerian lain menangani aspek sosial dan ekonomi.
Secara teoritik, ini mendekati model executive-led coordination. Legitimasi dan daya paksa politik presiden digunakan mengatasi ego sektoral. Tanpa membentuk lembaga baru yang berisiko memperpanjang birokrasi.
Pendekatan semacam ini juga berupaya menutup celah yang dulu muncul pada model BRR. Dengan tetap menggunakan struktur kementerian yang sudah ada, mekanisme pengawasan formal seperti inspektorat, BPK, dan DPR tetap berjalan. Risiko penyimpangan lebih terkendali.
Keterlibatan langsung presiden berfungsi sebagai penjamin kecepatan dan prioritas. Sebagaimana ditunjukkan melalui pengerahan TNI dan instruksi lintas sektor.
Perdebatan status bencana nasional dan model rekonstruksi seharusnya tidak berhenti pada dikotomi BRR versus Zeni TNI. Pengalaman masa lalu menunjukkan lembaga khusus bukan solusi tanpa risiko. Sementara pendekatan militeristik murni juga tidak cukup untuk pembangunan jangka panjang.
Tantangan kebijakan publik justru terletak pada merancang kombinasi adaptif. TNI bergerak cepat di fase darurat. Rehabilitasi dan rekonstruksi dijalankan kabinet di bawah koordinasi presiden, dengan pengawasan lebih kuat dan fragmentasi minimal.
Kecepatan dan efisiensi bukan hanya soal siapa yang bekerja. Tetapi bagaimana negara mengatur kewenangan, pengawasan, dan kepemimpinan politiknya. Model BRR dan peran Zeni TNI memberikan dua pelajaran penting: bahwa negara harus hadir cepat, tetapi juga harus belajar dari risiko penyimpangan dan inefisiensi masa lalu. Agar rekonstruksi pascabencana benar-benar menghasilkan pemulihan yang adil dan berkelanjutan.
Jakarta, ARS (rohmanfth@gmail.com).










