LAMPUNG TIMUR — Isu kekerasan terhadap perempuan dan anak tak lagi bisa diperlakukan sebagai sekadar peristiwa kriminal biasa. Media dituntut mengambil posisi tegas: berpihak pada korban.
Pesan itulah yang mengemuka dalam pertemuan Ikatan Wartawan Online (IWO) Kabupaten Lampung Timur dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan KB (P3AP2KB) Lampung Timur, Jumat (26/12/2025).
Pertemuan yang digelar di Sekretariat IWO, Desa Sribhawono, Kecamatan Bandar Sribhawono, tersebut menegaskan pentingnya kolaborasi strategis antara pemerintah dan insan pers dalam mencegah serta menangani kekerasan berbasis gender dan terhadap anak bukan sekadar melalui penanganan kasus, tetapi lewat perubahan cara pandang publik.
Ketua IWO Lampung Timur, Andono, menyatakan bahwa jurnalisme tidak boleh berhenti pada laporan peristiwa, apalagi terjebak pada sensasi. Media, kata dia, harus hadir sebagai instrumen edukasi sosial dan perlindungan korban.
“Netral dalam kasus kekerasan sering kali berarti abai pada korban. Karena itu, kami mendorong jurnalisme yang berpihak, beretika, dan bertanggung jawab,” tegas Andono.
Ia menambahkan, IWO Lampung Timur selama ini menjalankan berbagai program preventif, mulai dari edukasi ke sekolah-sekolah terkait pencegahan bullying, literasi digital, hingga bahaya narkoba. Pendekatan ini dipilih karena kekerasan kerap berakar dari minimnya pengetahuan dan lemahnya kontrol sosial.
Tak hanya di ruang kelas, IWO juga terlibat dalam kegiatan sosial di masyarakat, menyasar anak-anak, kelompok rentan, hingga penyandang disabilitas.
Aktivitas tersebut menjadi upaya nyata menempatkan wartawan tidak sekadar sebagai peliput, tetapi bagian dari solusi sosial.
Dari sisi pemerintah, Dinas P3AP2KB Lampung Timur menilai peran media krusial dalam memutus rantai kekerasan.
Kepala Seksi Pemberdayaan Perempuan, Triyanti, bersama UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), menekankan bahwa peliputan yang keliru justru bisa melukai korban untuk kedua kalinya.
Kepala UPTD PPA Lampung Timur, Indah Lestari, secara terbuka mengapresiasi praktik jurnalistik yang dijalankan IWO. Menurutnya, peliputan kasus sensitif membutuhkan keberanian menahan diri, bukan mengejar klik atau sensasi.
“Identitas korban, sudut pandang pemberitaan, hingga pilihan diksi menentukan apakah media melindungi atau justru memperparah trauma,” ujarnya.
Indah menegaskan, sinergi ini tidak boleh berhenti pada pertemuan simbolik. Ia mendorong kerja sama berkelanjutan berupa kampanye publik, program literasi, hingga pendampingan korban melalui pemberitaan yang edukatif dan berorientasi pada pemulihan.
Kolaborasi antara IWO dan Dinas P3AP2KB Lampung Timur ini menjadi penegasan bahwa perlindungan perempuan dan anak bukan hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab pers.
Dalam konteks itu, jurnalisme bukan sekadar penyampai fakta, melainkan alat kontrol sosial yang menentukan ke mana arah keberpihakan publik.***













