Scroll untuk baca artikel
Budaya

Gunung Padang dan Sejarah yang Tak Nyaman

×

Gunung Padang dan Sejarah yang Tak Nyaman

Sebarkan artikel ini
Suasana di gunung Padang - foto doc Wawai

WawaiNEWS.id – Gunung Padang kembali mengusik ketenangan sejarah dunia. Situs megalitikum di Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ini seolah menolak diperlakukan sebagai sekadar “tumpukan batu purba”.

Ia berdiri atau lebih tepatnya, direbahkan sebagai teka-teki besar yang membuat ilmu pengetahuan modern gelisah, dan buku sejarah tampak terlalu tipis.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Struktur batu Gunung Padang menyimpan kejanggalan yang sulit dibantah. Batu-batu berbentuk panjang dengan penampang segi lima tersusun rapi, mirip columnar joint hasil aktivitas vulkanik. Namun alam tampaknya “keliru” di Gunung Padang.

Jika hukum geologi mengajarkan bahwa columnar joint terbentuk tegak lurus secara vertikal, maka batu-batu di situs ini justru banyak ditemukan dalam posisi horizontal, tertata rapi dengan orientasi timur barat dan utara–selatan. Terlalu rapi untuk disebut kebetulan alam, terlalu sistematis untuk dianggap kebodohan geologi.

Penelitian geofisika mempertebal keganjilan itu. Pada 2013, riset geolistrik dan ground penetrating radar yang dipimpin geolog Dr. Danny Hilman memperlihatkan citra bawah tanah yang, secara ilmiah, sulit disebut alami.

Beberapa meter di bawah permukaan Gunung Padang terdeteksi struktur padat berlapis, menyerupai ruang atau konstruksi yang diduga merupakan hasil rekayasa manusia purba.

BACA JUGA :  Melestarikan Tradisi Melalui Festival Adu Bedug dan Dondang Mustika

Lebih menggelitik dan tentu saja tidak nyaman bagi sejarah konvensional hasil uji usia oleh Laboratorium Beta Analytic, Miami, Florida, memperkirakan lapisan tertentu di Gunung Padang berumur hingga 14.000 tahun.

Angka ini menempatkan Gunung Padang jauh mendahului piramida Mesir, Stonehenge, dan hampir seluruh monumen kuno yang selama ini dielu-elukan sebagai tonggak awal peradaban manusia.

Jika angka itu benar, maka bukan Gunung Padang yang bermasalah. Yang perlu direvisi adalah cara dunia memahami sejarah.

Ekskavasi arkeologi tahun 2013 yang dipimpin Dr. Ali Akbar bersama tim Universitas Indonesia menemukan dua temuan kunci.

Pertama, logam berkarat sepanjang sekitar 10 sentimeter pada kedalaman satu meter di lereng timur situs sebuah anomali di lokasi yang secara resmi masih diberi label “prasejarah”.

Kedua, adanya sistem sambungan antar batu yang menunjukkan teknik konstruksi, bukan sekadar susunan acak.

Temuan ini diuji lintas disiplin: geologi, petrografi, metalurgi, hingga mineralogi di Fakultas Teknik UI. Hasilnya justru menambah daftar pertanyaan, bukan menutup perkara.

BACA JUGA :  Bupati pastikan hadir pada pengukuhan MPAL Tanggamus

Pada pengeboran inti (coring) tahun 2012 di Teras 5 hingga kedalaman 15 meter, peneliti menemukan lapisan pasir halus dengan komposisi mencengangkan: 68 persen kuarsa, 22 persen oksida besi-magnesium, dan 10 persen silikat gelas.

Komposisi ini sulit dijelaskan sebagai hasil sedimentasi alami biasa. Alam boleh kreatif, tetapi Gunung Padang tampaknya terlalu “teknis” untuk sekadar karya spontan geologi.

Salah satu temuan paling kontroversial adalah artefak batu yang menyerupai senjata, sementara disebut sebagai “Kujang Gunung Padang”.

“Bentuknya seperti senjata. Ada bagian pegangan, pinggang, dan bilah bifacial dengan tajaman di dua sisi,” ujar Dr. Ali Akbar.

Artefak ini ditemukan pada lapisan dengan usia minimal 5200 SM, bahkan sangat mungkin lebih tua. Menariknya, hasil uji laboratorium di ITB oleh Dr. Bagus Endar dan tim menunjukkan kandungan unsur metal yang tersebar merata di seluruh struktur batu bukan sekadar kontaminasi permukaan.

Secara geometris, artefak ini juga tidak sederhana. Ia mengandung pola segitiga, distribusi titik berat, hingga kurva helix atau spiral konsep yang dalam ilmu modern identik dengan pemahaman matematika dan rekayasa tingkat lanjut.

BACA JUGA :  Beriwisata ke Cianjur Wajib Bawa keterangan bebas Korona

Peneliti lain, Dr. Didit Ontowirjo, bahkan menemukan serat menyerupai kawat di dalam struktur artefak tersebut.

Pertanyaannya bukan lagi “apakah ini mungkin”, melainkan “mengapa kita begitu enggan menerimanya”.

Gunung Padang menyampaikan pesan yang barangkali terlalu lantang untuk sejarah arus Utama, Nusantara mungkin pernah menjadi bagian dari atau bahkan pusat peradaban manusia dengan tingkat teknologi yang belum sepenuhnya kita pahami.

Namun sejarah, seperti birokrasi, sering kali lebih nyaman dengan narasi lama. Lebih aman menyebut Gunung Padang sebagai situs ritual sederhana ketimbang mengakui bahwa ada bab peradaban yang terlewat, terhapus, atau sengaja diabaikan.

Gunung Padang bukan sekadar situs arkeologi. Ia adalah ruang dialog lintas zaman, tempat batu, pasir, dan logam berbicara tentang kejayaan yang terlupakan. Masalahnya, manusialah yang sering memilih tidak mendengar.

Apakah Gunung Padang akan mengubah peta sejarah dunia? Atau justru dunia belum siap menerima kenyataan bahwa masa lalu manusia mungkin jauh lebih maju dan Nusantara tak sekadar penonton?

Gunung Padang tampaknya belum selesai berbicara. Sejarahlah yang masih pura-pura tuli.***