LAMPUNG TIMUR – Bangunan permanen konon katanya untuk pabrik sabut kelapa disekitaran Simpang Wakidi, Desa Bandar Agung, Kecamatan Sribhawono, seluas 1.600 meter persegi di atas lahan yang seharusnya menjadi paru-paru wilayah menjadi perhatian publik.
Dari luar, tampak bangunan permanen itu seperti kantor atau pusat bisnis modern. Dilengkapi pengeboran air bersih dan konstruksi beton bertulang, bangunan ini mengundang tanya, apa yang sedang terjadi di hutan lindung Register 38?
Bangunan untuk pabrik sabut kelapa ini, sebenarnya bukan satu-satunya. Sepanjang Jalan Ir. Sutami, dari Desa Bandar Agung hingga Desa Sidorejo, berdiri bangunan-bangunan permanen yang menyalahi status kawasan sebagai hutan lindung dan sengaja dibiarkan.
Tidak hanya rumah tinggal, namun juga bangunan usaha, gudang, hingga kantor-kantor usaha berskala besar. Hutan yang dulunya rimbun dan menjadi penyangga lingkungan kini perlahan berubah menjadi desa-desa semi-permanen tanpa legalitas yang jelas.
Bayangan Beton di Atas Tanah Negara
Miswantori, Kepala Seksi Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Gunung Balak Register 38, mengaku sudah mengetahui keberadaan bangunan di Simpang Wakidi tersebut.
Ia menyebut pihaknya telah berulang kali mendatangi lokasi dan melaporkannya ke Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
“Kami sudah buatkan nota dinas, tapi pemilik bangunan sulit ditemui. Beberapa kali ke lokasi, tak pernah bertemu langsung,” ujar Miswantori, Selasa 3 Juni 2025.
Meskipun lapak itu awalnya disebut untuk pengeringan serabut kelapa, bentuk dan skala bangunan jauh melebihi izin lingkungan yang diajukan ke warga.
Pemerintah desa pun hanya menerima surat izin lingkungan, bukan izin mendirikan bangunan (IMB), sebagaimana diakui Kepala Desa Bandar Agung, Aldi Guntoro.
“Kami sudah mengingatkan agar pemilik bangunan segera mengurus IMB. Jangan sampai jadi masalah hukum nantinya,” ujar Aldi sebagaimana dikutip Wawai News.
Pernyataan ini dikuatkan oleh Kepala Dusun VII, Akad, yang mengaku hanya menerima permohonan izin lingkungan, bukan untuk bangunan berskala besar.
“Kalau lihat sekarang, jelas-jelas itu menyalahi aturan,” tegasnya.
Antara Ketidaktahuan dan Pembiaran
Pelanggaran demi pelanggaran seperti ini tidak terjadi dalam sehari. Lemahnya pengawasan dari pemerintah desa, kabupaten, hingga dinas kehutanan menciptakan celah lebar untuk praktik ilegal.
Tanah negara yang seharusnya dilindungi justru berubah menjadi ladang bisnis. Bahkan, banyak warga mengaku telah membeli lahan dari sesama warga, meski tanpa dokumen hukum yang sah.
Kebijakan penghentian pembayaran pajak lahan garapan sejak awal 2025 juga makin menambah keresahan. Warga takut penggusuran. Mereka sudah terlanjur membangun rumah dan usaha dengan investasi ratusan juta rupiah. Mereka pun terjebak antara hak hidup dan larangan hukum.
Hutan yang Lupa Diri
Kawasan Register 38 Gunung Balak sejak awal ditetapkan sebagai hutan lindung, kawasan yang memiliki fungsi penting sebagai penyerap air dan penyangga lingkungan.
Awalnya, masyarakat diperbolehkan melakukan tumpangsari – bertani sambil tetap menjaga keberadaan pohon besar, namun kini semua berubah.
Di banyak titik, pohon-pohon besar telah hilang. Tanah yang dulunya lembap dan hijau, kini padat oleh bangunan dan jalan tanah.
Bahkan, beberapa lahan kini diperjualbelikan secara terang-terangan, menunjukkan lemahnya penegakan hukum.
Panggilan untuk Menjaga yang Tersisa
Kasus bangunan 1.600 meter persegi di Simpang Wakidi hanyalah satu dari puluhan, mungkin ratusan yang membentuk wajah baru Register 38.
Jika tidak segera ditindak, kawasan ini akan benar-benar kehilangan identitasnya sebagai hutan lindung.
Pemerintah harus hadir dengan kebijakan yang tegas namun manusiawi: menertibkan tanpa mengabaikan hak hidup warga, dan melindungi lingkungan tanpa membiarkannya dimanipulasi oleh kepentingan bisnis.
Karena pada akhirnya, hutan bukan hanya milik negara atau masyarakat hari ini, tapi warisan untuk anak cucu kita kelak.***