Scroll untuk baca artikel
Head LineLampung

Air Sungai Jadi Teh Harian, Nelayan di Lampung Timur Belajar Bertahan di Tengah Krisis

×

Air Sungai Jadi Teh Harian, Nelayan di Lampung Timur Belajar Bertahan di Tengah Krisis

Sebarkan artikel ini
Di Dusun Ujung Tanggul, Desa Labuhan Ratu, Kecamatan Pasir Sakti, Lampung Timur, tak ada yang lebih mewah dari segelas air jernih.

LAMPUNG TIMUR — Di Dusun Ujung Tanggul, Desa Labuhan Ratu, Kecamatan Pasir Sakti, tak ada yang lebih mewah dari segelas air jernih. Di sini, air bersih bukan lagi kebutuhan dasar tapi barang langka yang harus dicari, ditenteng, dan disyukuri.

Sudah lama, nelayan di pesisir timur Lampung itu hidup dengan air sungai yang sama dipakai untuk mencuci, mandi, dan minum. Warnanya? Tergantung cuaca. Kadang keruh kecokelatan, kadang agak kehijauan, tapi tetap ditampung dan direbus. Karena bagi warga, yang penting bisa diminum, bukan soal rasa.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“Terpaksa, Mas. Mau bagaimana lagi? Kalau mau ambil air bagus, jauh. Jalan rusak, mobil nggak bisa lewat. Kalau lagi musim ikan, kami bisa beli galon, tapi pas musim timuran ya harus prihatin,” kata Holidin, tokoh nelayan setempat, sambil menatap ember air di teras rumahnya, Senin (20/10/2025).

Ironisnya, sumur bor bantuan pemerintah yang dulu sempat jadi kebanggaan warga kini macet total. Letaknya di musala, tapi entah sejak kapan tak lagi meneteskan air.

Mesin pompanya berdebu, dan pipa-pipanya kini lebih mirip monumen kenangan program bantuan yang tinggal cerita.

“Sudah lama nggak nyala. Katanya mau diperbaiki, tapi nggak tahu siapa yang mau datang,” tambah Holidin, dengan tawa kering yang terdengar seperti satire kehidupan.

Jalan Rusak, Lampu Mati, Tapi Warga Masih Bertahan

Kalau bicara infrastruktur, warga Ujung Tanggul sepertinya sudah terbiasa kecewa. Jalan utama menuju desa itu lebih mirip jalur off-road ketimbang akses ke permukiman. Lubang di mana-mana, aspal tinggal legenda. Kalau hujan turun, lumpur jadi raja.

“Kami ini kayak dianaktirikan. Jalan rusak bertahun-tahun, nggak ada perbaikan. Lampu jalan juga nihil, kalau malam gelapnya bukan main. Kadang kayak mau masuk kampung hantu,” ujar Jeje, warga yang tinggal tak jauh dari muara.

Gelapnya malam di Ujung Tanggul bukan cuma soal lampu, tapi juga simbol minimnya perhatian. Bahkan jembatan penghubung yang sudah retak dan nyaris patah, tetap dilewati warga setiap hari. Bukan karena berani, tapi karena tak ada pilihan.

“Iya takut juga, tapi kalau nggak lewat situ, muter jauh banget. Mau nggak mau, ya jalan aja sambil doa,” kata Teh Enok, sambil menunjukkan jembatan kayu yang sudah miring ke arah sungai.

Pemerintah, Jangan Hanya Datang Saat Kamera Menyala

Warga nelayan di sini tak minta banyak. Mereka tak bicara bantuan besar atau proyek miliaran. Cukup air bersih yang layak, jalan yang bisa dilalui, dan lampu yang bisa menerangi malam. Itu saja sudah seperti kemewahan.

“Kami mohon kepada bapak Gubernur dan ibu Bupati, tolonglah lihat kami. Sumur bor sudah lama mati, jalan rusak, fasilitas umum juga nggak ada. Kami ini juga rakyat Lampung,” pinta Holidin.

Di saat kota sibuk bicara smart city dan digitalisasi layanan publik, warga Ujung Tanggul masih berharap air yang jernih bisa keluar dari pipa.

Mungkin di atas kertas, semua program sudah berjalan. Tapi di lapangan, yang mengalir justru air sungai yang berwarna kopi susu bukan dari kebijakan, melainkan dari pasrah dan kebiasaan.

Ketika Bertahan Jadi Keterampilan Hidup

Bagi nelayan Ujung Tanggul, hidup sudah seperti laut tak selalu tenang, sering berombak. Tapi mereka tetap berlayar, tetap berjuang.

Mereka tahu, mungkin pemerintah tak segera datang. Tapi selama masih ada ember dan api untuk merebus air, mereka akan bertahan.***

Sebab bagi mereka, air sungai yang keruh tetap lebih nyata daripada janji pembangunan yang bening di atas podium.***