WAWAINEWS – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mencatat 7 kasus kekerasan terhadap wartawan dalam kurun waktu 2021.
Jika dirincikan meliputi kasus intimidasi (4 kasus), ancaman pembunuhan (1), pelarangan liputan (1), ancaman untuk menghapus berita (1).
Ketua AJI Bandar Lampung, Hendry Sihaloho mengatakan pelaku intimidasi yakni orang tidak dikenal, oknum polisi, mantan anggota TNI serta karyawan.
Sementara pelaku ancaman pembunuhan dilakukan oleh orang yang tidak dikenal.
“Pelarangan liputan dilakukan oleh wali kota Bandar Lampung dan ancaman untuk menghapus berita dilakukan oleh LSM,” kata Hendry dalam konferensi pers catatan akhir tahun, Jumat (31/12).
Selain kekerasan yang bukan aktivitas jurnalistik, AJI Bandar Lampung mencatat beberapa pelanggaran terkait etik. Pelanggaran tersebut seperti pemerasan (3 kasus) dan mengganggu narasumber (1).
“AJI juga menyoroti perkembangan kebebasan berpendapat dan berekspresi di Lampung. Sepanjang tahun ini, AJI mencatat ada 4 kasus yakni kriminalitas mahasiswa, surat peringatan agar mahasiswa tidak berdemo, surat peringatan usai aksi menuntut penurunan UKT, dan dugaan peretasan akun media sosial,” ujarnya.
Lanjutnya, menyikapi berbagai hal tersebut, AJI Bandar Lampung memberikan beberapa rekomendasi seperti masyarakat, termasuk pemangku kepentingan, perlu menghormati aktivitas jurnalistik.
Keberatan terhadap produk jurnalistik mengedepankan mekanisme yang diatur dalam UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, seperti hak jawab maupun hak koreksi.
“Komunitas pers perlu serius menyikapi kekerasan terhadap jurnalis. Sebab, sulit memutus rantai kekerasan tanpa komitmen yang sungguh-sungguh dari komunitas pers,” jelasnya.
Direkomendasikan juga jurnalis mematuhi Kode Etik Jurnalistik dalam bekerja. Bersikap profesional, independen, dan mengutamakan kepentingan publik. Sebab, ketidakprofesionalan dapat memicu kekerasan terhadap jurnalis.
“Masyarakat yang mendapati atau menilai perilaku jurnalis tak profesional dapat melapor ke perusahaan media si jurnalis bekerja, organisasi wartawan, maupun Dewan Pers. Perguruan tinggi, termasuk pengambil kebijakan di masing-masing instansi/lembaga, mesti menghormati ekspresi warga negara,” ujarnya.(*)