Scroll untuk baca artikel
Nasional

Aksi Massa Makin Brutal, Presiden Instruksi Tindakan Tegas di Tengah Bangsa yang Membara

×

Aksi Massa Makin Brutal, Presiden Instruksi Tindakan Tegas di Tengah Bangsa yang Membara

Sebarkan artikel ini
Presiden Prabowo Subianto - foto doc ist

BOGOR – Presiden Prabowo Subianto akhirnya turun tangan. Di tengah gelombang unjuk rasa yang kian hari kian mirip kobaran api tanpa padam, ia memanggil Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Lokasinya di Istana Bogor, Sabtu (30/8/2025), untuk satu kata kunci: evaluasi.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit keluar memberi pernyataan. “Baru saja kita bersama Bapak Panglima dan juga beberapa menteri terkait dipanggil Bapak Presiden untuk melaksanakan evaluasi terkait perkembangan situasi terkini,” ujarnya, dengan nada yang barangkali lebih menenangkan kamera daripada massa di jalanan.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Namun, situasi lapangan berbicara lain. Sejak dua hari terakhir, unjuk rasa di berbagai kota lebih mirip pesta api ketimbang pesta demokrasi. Gedung DPRD dibakar, kantor pemerintah dilempari, markas aparat diserbu, hingga fasilitas umum ikut jadi korban amarah kolektif.

Kapolri pun menegaskan bahwa kebebasan berpendapat yang selama ini dielu-elukan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 bukanlah tiket gratis untuk berubah menjadi gladiator jalanan.

“Kalau kita melihat eskalasi dua hari ini, kecenderungannya sudah mengarah ke tindakan anarkis. Pembakaran gedung, penyerangan markas, hingga fasilitas umum dirusak. Itu bukan lagi kebebasan, tapi pidana,” tegasnya.

Instruksi Presiden jelas: TNI-Polri harus tegas. Tegas, tentu saja, versi pemerintah yang dalam praktiknya bisa berarti peringatan keras, gas air mata, atau derap sepatu bot di jalanan. “Bapak Presiden memerintahkan kepada saya dan Panglima, khusus terkait tindakan anarkis, agar mengambil langkah tegas sesuai undang-undang,” lanjut Kapolri.

Negara kembali bicara soal “sesuai undang-undang” di saat masyarakat merasa hukum justru lebih sering jadi dekorasi ketimbang perlindungan. Kebebasan berekspresi memang dijamin, tapi hanya sampai asap pertama dari ban terbakar mulai mengganggu pemandangan lensa kamera.

Sementara itu, rakyat yang turun ke jalan tetap membawa teriakan yang sama: frustrasi, amarah, dan kekecewaan. Mereka mungkin tak membaca undang-undang, tapi mereka membaca harga beras dan ongkos hidup yang kian mencekik.

Evaluasi di Istana Bogor mungkin berakhir dengan strategi. Tetapi di jalanan, evaluasi rakyat masih berlanjut dengan cara yang tak selalu sesuai prosedur hukum.***

SHARE DISINI!