Secara sederhana lembaga Transparansi Internasional mendefinisikan korupsi sebagai ” corruption as an “abuse of entrusted power for private gain”” atau penyalahgunaan kekuasaan negara untuk kepentingan pribadi. Sepuluh hal di atas adalah indikator yang diteliti dan diobservasi.
Mengapa negara ini di era Jokowi akhirnya gagal memberantas korupsi?
Pada tulisan saya sebelumnya, “Tujuh Tantangan Terbesar Indonesia 2023: Pemberantasan Korupsi”, 28/12/22, saya sudah mengungkapkan pemerintahan Jokowi, dalam hal ini LBP dan Mahfud MD, secara terang-terang menegasi OTT (operasi tangkap tangan kpp), yang pastinya berakibat pada pelumpuhan kinerja KPK.
BACA JUGA: Anies Didukung Rakyat, Anies Dibendung Aparat
Mahfud dalam merespon IPK 2022 ini mensinyalir bahwa salah satu faktor penyebab menurunnya indeks adalah akibat perdebatan OTT tersebut. Mahfud mempersoalkan tentang debatnya, sedangkan saya melihat indikasi buruknya apresiasi rezim ini terhadap langkah pemberantasan korupsi. Penilaian atas indikator yang ada bukan soal anti OTT yang diungkapkan LBP menjelang akhir tahun 2022, namun pastinya merupakan rekaman sepanjang tahun tersebut.
Berbagai peristiwa besar terkait korupsi tahun 2022 adalah skandal minyak goreng, skandal korupsi Hakim Agung, suap menyuap dalam penerimaan mahasiswa baru Universitas Lampung, korupsi bantuan sosial di pemerintahan daerah Jawa Timur, isu tambang illegal dan pemilikan dana ilegal olleh institusi negara seperti kasus Sambo, kenaikan harta kekayaan anak-anak Jokowi yang dilaporkan Ubaidillah Badrun ke KPK, penanganan perkara korupsi di pengadilan dan semakin kayanya pejabat negara.
Dalam kasus “Minyak Goreng Langka”, umpamanya, terungkap bahwa negara terlibat dalam memperkaya konglomerat minyak goreng dimana nyata-nyata pejabat negara mendukung kelangsungan ekspor minyak goreng tanpa menghiraukan kebutuhan rakyat di dalam negeri, atau artinya bersenang-senang di atas penderitaan rakyat yang mengantri minyak goreng tersebut.
BACA JUGA: La Nyalla Menjebak Jokowi Atau Ikut Menjegal Anies Baswedan?
Pemerintah tidak berhasil membongkar mafia dan kartel minyak goreng yang awalnya digembar-gemborkan akan diusut tuntas. Selain itu, dalam kasus korupsi ini, pengadilan dinilai terlalu rendah memberikan hukuman terhadap tersangka. Malah hakim menilai tidak ada kerugian negara, sehingga jaksa melakukan banding.
Spektrum korupsi, kolusi dan nepotisme yang kembali meluas dan dalam seperti era Orde baru mempunyai kaitan erat dengan hancurnya demokrasi, merosotnya moral pejabat negara, lemahnya moral penegak hukum dan merajalelanya pengusaha dalam perpolitikan kita. Kaitan demokrasi, seperti lemahnya kontrol rakyat atas negara, diakui sebagai variabel penting oleh Transparansi Internasional. Negara negara demokrasi rerata mencapai angka 70.