Ketika rakyat tidak lagi bisa bersuara, karena dibungkam, maka pejabat negara dapat sesuka hatinya menjadikan aset dan akses negara untuk kepentingan kekayaan pribadinya.
Demokrasi yang buruk juga ditandai dengan “Clientalisme”, seperti kata Fukuyama. Yakni adanya balas jasa politik dalam dukung mendukung calon presiden maupun jabatan lainnya. Ini akan merusak prinsip-prinsip ” Governance”, yang akhirnya melemahkan moral kekuasaan. Masalah moral dibanding legal ini telah saya uraikan dalam tulisan saya “Merajalelanya Korupsi dan Moralitas Kekuasaan”, 2020, di mana para filosof lebih menekankan soal moralitas ketimbang legal.
BACA JUGA: Mengapa Anies Selalu Disambut Meriah?
Namun, tentu saja hal legal sangat penting, seperti hukuman mati yang berlaku di negara China dan negara-negara Islam terhadap koruptor.
Feodalisme juga merupakan sumber merajalelanya korupsi. Feodalisme, seperti juga “Clientalisme” memberi jalan bagi keluarga dan sanak famili menjadi pejabat negara seenaknya tanpa memperhatikan aspek kepantasan, baik dari sisi kapasitas maupun etika.
Saya berbeda dengan pejabat
Transparansi Indonesia yang melihat UU Omnibus Law sebagai instrumen yang bagus untuk memperbaiki tata kelola pemerintah dan “doing bussiness”. Sebab, sebaliknya, setelah dua tahun UU Omnibus law Ciptaker dan diperkuat Perpu, korupsi justru makin merebak.
BACA JUGA: Anies Urung Hadiri Muktamar Al-Isryad di Purwokerto. Kenapa?
Kita harus melihat bahwa problematika struktural dan kultural yang ada saat ini, yang sudah saya bahas dalam tulisan saya terdahulu, membutuhkan perombakan total. Agenda perubahan substansial ke depan adalah menghancurkan korupsi di Indonesia.
Terakhir, “State of thieve”, sebuah istilah yang sudah saya bahas dahulu, yang diungkap utusan PBB ke Afghanistan dahulu, ternyata negara telah menjadi aktor korupsi itu sendiri. Semua pejabat negara terlibat secara sadar dan hirarkis merampok kekayaan negara. Ini adalah situasi terburuk, yang juga mungkin meluas di Indonesia.